IESR Luncurkan Hasil Kajian Pendanaan Aksi Perubahan Iklim untuk Perkotaan Indonesia

Reading time: 2 menit
iesr
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Institue for Essential Services Reform (IESR) secara resmi meluncurkan hasil kajian mengenai pendanaan aksi-aksi perubahan iklim perkotaan di Indonesia. Henriette Imelda, penulis kajian dari IESR mengatakan, dalam kajian ini IESR melakukan identifikasi sumber-sumber pendanaan yang dapat mendukung pemerintah kota di Indonesia dalam menangani dampak perubahan iklim mulai dari tingkat internasional, nasional dan lokal.

Data dari Departemen Keuangan, lanjut Imelda, menunjukkan bahwa aksi mitigasi Rencana Aksi Nasional (RAN) Gas Rumah Kaca (GRK) membutuhkan dana sebesar Rp 244 Triliun untuk periode tahun 2010 hingga 2020 yang dialokasikan ke sejumlah sektor seperti lahan, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, pertanian, industri dan limbah.

BACA JUGA: Perubahan Iklim Meningkatkan Risiko Penyakit Mematikan

Untuk bisa mengakses sumber pendanaan perubahan iklim, terusnya, pemerintah kota perlu menyiapkan kerangka kerja yang jelas mengenai pengelolaan dana perubahan iklim, termasuk menyiapkan kelembagaan yang memiliki kapasitas memadai dalam mengelola dana perubahan iklim.

“Itu pun harus termasuk kapasitas dalam menilai, mengukur dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh kota tersebut,” ujarnya saat memaparkan hasil kajian IESR tersebut di Jakarta, Senin (24/10).

Secara luas, pendanaan perubahan iklim tersedia di tiga level, yaitu internasional, nasional maupun lokal. Pendanaan perubahan iklim di tingkat internasional misalnya adalah Global Environmental Facility (GEF), Green Climate Fund (GCF), dan Adaptation Fund (AF).

Khusus GCF, hingga saat ini pendanaan tersebut merupakan pendanaan perubahan iklim dengan jumlah dana terbesar di antara pendanaan internasional lainnya. GCF beroperasi melalui dua jendela kegiatan; pertama, melalui kegiatan-kegiatan pengurangan emisi (mitigasi dan perubahan iklim), dan kedua, aktivitas-aktivitas yang meningkatkan ketahanan (adaptasi perubahan iklim). Kelemahannya, GCF ini hanya dapat diakses oleh lembaga yang terakreditasi terhadap GCF, bak melalui direct access maupun international access.

BACA JUGA: Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia Belum Berbasis Data

Untuk tingkat nasional, pendanaan perubahan iklim terbagi menjadi tiga. Pertama, pendanaan berdasarkan anggaran pemerintah pusat; kedua, pendanaan yang bisa diakses melalui dana perwalian (trust fund); lalu ketiga, pendanaan melalui intitusi pendanaan seperti PT SMI.

Melalui kajian ini, IESR juga memberikan rekomendasi untuk mendirikan sebuah institusi pendanaan yang mengelola dana perwalian, dimana seluruh potensi pendanaan perubahan iklim yang ada di tingkat kota akan bermuara. Institusi ini nantinya akan mengelola dana yang masuk, mengalokasikannya, serta melakukan pemantauan, pelaporan dan verifikasi terhadap penggunaan dana tersebut.

“Salah satu jalan keluar untuk mengatasi kesenjangan antara kebutuhan pendanaan dan pelaksanaan program kerja untuk mengatasi dampak perubahan iklim ini adalah pemerintah daerah harus memiliki kajian yang tepat mengenai dampak kerentanan di wilayahnya,” tutup Imelda.

Penulis: Danny Kosasih

Top