Intensifikasikan Kelapa Sawit di Lahan Rendah Karbon

Reading time: 3 menit
Kondisi perkebunan kelapa sawit. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Intensifikasi kelapa sawit pada lahan dengan kandungan karbon rendah penting untuk mempercepat penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Selain meningkatkan produksi minyak kelapa sawit, upaya ini akan menyelamatkan 2,6 juta hektare (ha) hutan dan gambut serta menekan emisi sebesar 732 Mt CO2-e ke atmosfer.

Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Setiari Marwanto menyatakan, sektor perkebunan termasuk kategori dari Forestry and Other Land Uses (FoLU). Sektor ini mendominasi terhadap pengeluaran emisi GRK sebesar 24 %.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK berbasis National Determined Contribution (NDC), sebesar 29 % secara mandiri. Lalu 41% dengan bantuan Internasional pada tahun 2030.

Sementara emisi yang FoLU hasilkan di tahun 2030 jika tanpa intervensi apapun bisa mencapai 714 Mt CO2-e. Angka ini meningkat 67 Mt CO2-e dari tahun 2010 yang hanya 647Mt CO2-e .

Namun, jika melalui tindakan sendiri maka akan berkurang sekitar 500 Mt CO2-e atau menjadi 217 Mt CO2-e . “Itulah kenapa, termasuk posisi perkebunan ini menjadi sangat penting dalam isu ini,” katanya dalam Webinar Peran Subsektor Hortikultura & Perkebunan: Pencapaian Target Mitigasi Gas Rumah Kaca Nasional, baru-baru ini.

Indonesia Produsen Utama Minyak Sawit Dunia

Saat ini pemerintah fokus merestorasi lahan gambut seluas 2 juta ha hingga tahun 2030. Rehabilitasi juga dilakukan pada lahan yang tak produktif seluas 12 juta ha hingga tahun yang sama.

Setiari menambahkan, pemanfaatan lahan tidak produktif melalui identifikasi kandungan karbonnya untuk penanaman kelapa sawit merupakan langkah krusial. Ini menyusul kebutuhan komoditas perkebunan yang meningkat signifikan. Terlebih Indonesia sebagai produsen utama minyak kelapa sawit dunia.

“Di samping itu, kita bisa pemanfaatan lahan tak produktif, terutama yang memiliki kandungan karbon rendah untuk sawit. Ini sangat efektif untuk mengurangi konsentrasi karbon di atmosfer,” jelasnya.

Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman dengan kandungan karbon tinggi. Bila kelapa sawit ditanam pada lahan rendah karbon maka penyerapan karbonnya akan semakin besar.

“Ketika tanah ditingkatkan kandungan karbonnya itu mampu menetralkan atau mengembalikan emisi dari bahan bakar fosil. Sehingga bila langkah ini dilakukan secara global akan mampu menyerap emisi sangat besar,” tuturnya.

Ia menyebut, dengan melakukan intensifikasi kelapa sawit pada lahan dengan kandungan karbon rendah juga akan meningkatkan produksi minyak kelapa sawit tahun 2035 sebesar 60 %.

ruu perkelapasawitan

Indonesia salah satu produsen kelapa sawit terbesar dunia. Foto: pxhere.com

Posisi Unik Sektor Pertanian Dalam Isu Perubahan Iklim

Sementara itu Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, Puji Lestari menyatakan, sektor pertanian memiliki posisi unik dalam isu perubahan iklim global. Posisinya yakni sebagai penyebab, korban, sekaligus sebagai solusi.

“Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia sangat rentan terhadap perubahan iklim,” ucapnya.

Dengan memahami ketiga posisi sektor pertanian tersebut secara utuh, kita dapat mengidentifikasi jenjang riset dan menentukan arah penelitian dengan lebih baik. Riset di sektor pertanian untuk peningkatan produktivitas dengan memberikan perhatian serius terhadap aspek lingkungan.

Oleh sebab itu perlu meningkatkan upaya adaptasi, mitigasi (sebagai keuntungan dari upaya adaptasi) dan ketangguhan iklim.

Senada dengan itu, Kepala Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Dwinita Wikan Utami, mengatakan, sektor hortikultura dan perkebunan memiliki potensi besar sebagai solusi perubahan iklim. Budi daya hortikultura secara presisi akan menurunkan intensitas emisi sekaligus meningkatkan produksi dan kualitas.

“Sementara pengembangan tanaman perkebunan di lahan kritis dan terdegradasi akan meningkatkan serapan karbon daratan. Sekaligus juga untuk memenuhi permintaan dunia terhadap hasil komoditas perkebunan yang terus meningkat,” ungkap Dwinita.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top