Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia Menunggu Realisasi

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: http://aseanrenewables.info/

Jakarta (Greeners) – Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara anggota ASEAN telah melakukan usaha yang cukup besar untuk memanfaatkan sumber daya energi terbarukan (ET) di wilayahnya. Beberapa negara ada yang memperkenalkan feed-in-tarif atau peraturan untuk energi terbarukan serta kebijakan pendukung lainnya, misalnya pajak, dan pembebasan bea cukai.

Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia memiliki tantangan untuk menyediakan pasokan energi dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan pemanasan global.

Badan Pengelola Reduksi Emisi Deforstasi dan Degradasi hutan dan lahan gambut (BP REDD+) menyatakan, bahwa perlu adanya strategi untuk memanfaatkan sumber daya energi terbarukan karena Indonesia memiliki banyak sekali sumber daya alam potensial.

Namun di sisi lain, Deputi Bidang Perencanaan dan Pendanaan BP REDD+, Agus Pratama Sari juga menyesalkan bahwa meskipun Indonesia memiliki sumber energi terbarukan potensial yang sangat melimpah, itu semua tidak dibarengi dengan realisasi yang serius dan berkelanjutan.

“Kita lihat saja panas bumi (geothermal). Paling banter sudah terpasang 1000-1500-an MW, padahal potensinya 25 ribu MW. Lalu, banyak orang yang mau bikin geothermal harus menunggu 10 tahun untuk dapat izinnya,” terang Agus saat berbincang dengan Greeners di Jakarta, Rabu (17/09).

Agus juga menyayangkan, bahwa asumsi energi terbarukan (renewable) mahal bukan karena energi tersebut memang benar-benar mahal. Namun, tambah Agus, subsidi pemerintah untuk energi kotor atau fosil sangat besar, sementara energi terbarukan sebaliknya, sehingga membuat energi ini menjadi mahal.

“Ini kan pola pikirnya terbalik, yang bersih enggak disubsidi, yang kotor disubsidi habis-habisan,” tambahnya.

Seperti diketahui, sejak 2009 lalu Indonesia secara aktif mempromosikan penggunaan sumber daya energi terbarukan (ET) lokal. Pemerintah berencana untuk meningkatkan persentase ET dalam bauran energi nasional, pada tahun 2006 target 17 persen dari ET diumumkan (PERPRES No 5/2006).

Dalam “Vision 25/25”, Indonesia merumuskan target yang lebih ambisius, yakni untuk mencapai persentase ET 25% pada tahun 2025. Untuk mewujudkannya, pada Juni 2014 lalu, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Keanekaragaman Energi (DJ EBTKE) Indonesia bekerjasama dengan GIZ RE Programme Indonesia/ASEAN telah meluncurkan “Pedoman Pengembangan Proyek Tenaga Listrik untuk Biomassa dan Biogas di Indonesia” yang ditujukan untuk para pengembang energi di Indonesia.

Selain Indonesia, Filipina juga telah mengeluarkan undang-undang energi terbarukan yang dirumuskan dalam Renewable Act (RA) 9513. Peraturan tersebut ditujukan bagi perluasan energi terbarukan di Filipina.

Departemen Energi Filipina (DoE) telah menyatakan komitmennya untuk berupaya meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat antara tahun 2010 sampai 2030 yang dituangkan dalam program energi terbarukan nasional.

Oleh karenanya, DoE bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaftfür Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH merumuskan sebuah pedoman pengembangan solar PV, yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang persyaratan administratif dan peraturan untuk pengembangan energi listrik tenaga surya di Filipina.

(G09)

Top