Kepedulian Terhadap Target Perubahan Iklim Kesepakatan Paris Meningkat

Reading time: 3 menit
kesepakatan paris
Ilustrasi: pixabay.com

London, 26 Juli 2016 – Para peneliti mengatakan bahwa mengingkari batas emisi yang sudah disepakati pada konferensi perubahan iklim di Paris, pada Desember lalu, akan menempatkan bumi pada bahaya akan meningkatnya temperatur.

Untuk mencapai tujuan dari Kesepakatan Paris, para peneliti menyatakan perlu teknologi kontroversial dan belum terbukti sempurna, seperti bio-energi serta penyerap dan penyimpan karbon, akan sangat dibutuhkan.

Sebuah analisa sains dan kebijakan menekankan bahwa batas kenaikan temperatur 1.5°C pada perjanjian tersebut telah berhasil mengidentifikasi beberapa daerah yang membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Kesepakatan Paris menargetkan untuk membuat kenaikan rata-rata temperatur global “berada di bawah” 2°C yang sebelumnya sudah disepakati, dan mengejar batas 1.5°C.

Analisa yang dilakukan oleh tim dari Climate Analytics dan International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) yang sebelumnya sudah mempublikasikan penelitian terkait dengan sains, dampak dan kebijakan batas 1.5˚C menjadi fokus isi dari Nature Climate Change,Nature Geoscience, dan jurnal Nature berjudul Targeting 1.5°C.

Jalan rendah emisi

Para peneliti memfokuskan pada sains yang membuktikan jalan rendah emisi yang bisa mencapai 1.5˚C. Pemanasan dalam skenario tersebut secara temporer akan melebihi ambang 1.5˚C sebelum turun kembali pada tahun 2100.

“Terkait dengan jalan yang sekarang apakah sudah sejalan dengan Kesepakatan Paris bukan masalah saintifik melainkan politis,” jelas Carl-Friedrich Schleussner, penulis utama yang juga penasehat Climate Analytics. “Banyak negara rentan beranggapan bahwa batas 1.5°C tidak boleh terlampaui.”

“Penelitian lebih lanjut terkait dengan kemungkinan batas berada di bawah 1.5°C menjadi elemen utama pada agenda pasca Kesepakatan Paris.”

Penelitian tersebut mengkonfirmasikan bahwa batas 1.5˚C akan lebih signifikan mengurangi risiko dan dampak ketimbang 2˚C, namun juga menggaris bawahi bahwa butuh penelitian lebih lanjut yang bisa memperbaiki pemahaman saintifik terkait dampak 1.5°C.

Hal ini termasuk konsekuensi atas lemahnya sistem, seperti pertanian di negara tropis, dampak terhadap kesehatan manusia dan alam termasuk terumbu karang, lapisan es, dan kenaikan muka air laut.

Beberapa peneliti meyakini bahwa dunia akan kesulitan mencapai batas 2°C yang ditargetkan dan mencegah pemanasan lebih dari 1.5°C akan menjadi lebih tidak tercapai lagi. Namun, para penulis yakin bahwa penelitian lebih lanjut terkait dampak yang terjadi, meski hanya singkat, harus bisa dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut.

“Berdasarkan penelitian kami tentang perbedaan dampak antara 1.5°C dan 2°C, maka kami usulkan untuk perlunya pemahaman riset lebih terkait dampak dari melampaui batas 1.5°C,” kata Michiel Schaeffer, penulis dan direktur sains Climate Analytics.

Analisa tersebut menyatakan bahwa puncak awal dari emisi global terjadi pada tahun 2020 dan penurunan menuju nol emisi menjadi penting dalam mencapai target Paris. Namun, target jangka pendek untuk mitigasi dari tahun 2020 hingga 2030 tidak cukup untuk mencapai batas temperatur sehingga Perjanjian memasukkan mekanisme yang menargetkan kepada kenaikan aksi iklim secara terus menerus.

“Kami membuat garis besar bagaimana mekanisme legal dan kebijakan dari Perjanjian Paris, secara prinsip, akan mampu mencapai target melalui review lima tahunan yang dibuat secara berkala, berdasarkan riset dan terintegrasi atas komitmen nasional pengurangan emisi yang menargetkan pada kemampuan negara untuk mampu memperbaiki janji mereka,” kata Bill Hare, founder dan CEO dari Climate Analytics.

“Review pertama kali akan dilakukan pada tahun 2018 artinya mengarahkan negara untuk bisa meningkatkan target pengurangan emisi 2025-2030 pada tahun 2020, yang bisa menjadi tes penting dari keefektifan Kesepakatan Paris.”

Untuk jangka menengah, mencapai target mitigasi dan temperatur artinya emisi CO2 negatif secara global tercapai pada pertengahan abad, menghilangkan gas dari atmosfer, menyimpannya di tanah, bawah tanah, dan lautan.

Mencapai emisi negatif akan melibatkan apa yang disebut sebagai “penyebaran teknologi yang belum pasti dan kontroversial, termasuk energi biomassa dengan penyerap dan penyimpan karbon.”

Berkelanjutan yang sejati

Joeri Rogelj, peneliti dari IIASA dan penulis laporan, mengatakan bahwa “Kita menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam bioenergi dan emisi negatif antara 1.5˚C dan 2°C. Meski demikian, konsep berkelanjutan yang penting dan sejati terkait dengan teknologi ini harus bisa diteliti lebih lanjut.

“Bertindak lebih awal dan cepat akan mampu mengurangi kebutuhan akan teknologi ini. Tapi, tidak berarti harus mengeliminasinya.”

Kepada Climate News Network, Ia mengatakan “Penelitan terkait dengan dampak iklim perlu dikuatkan dan menjadi spesifik. Contohnya, apakah kita yakin bahwa melampui 1.5°C, meskipun untuk waktu terbatas, akan aman dan tidak dapat berubah? Apabila iya, untuk berapa lama?”

“Penilaian ini akan memiliki dampak yang beda pada wilayah yang berbeda. Jadi, memperluas cakupan penelitian menjadi sangat berharga. Apabila kita menargetkan di bawah 1.5°C, ketidakpastian dalam iklim mengajarkan kita bahwa kita bisa saja mengalami kenaikan 2 derajat atau 2.5°C di akhir abad.”

Bill Hare mengatakan bahwa “1.5°C merupakan batas yang aman ketimbang 2°C, namun 1.5°C akan memiliki lebih banyak dampak negatif untuk sistem alam dan manusia terutama di daerah tropis dan pulau kecil. 1.5° tidak akan membuat kita ‘aman’ dari dampak negatif tetapi akan membuat kita relatif lebih aman ketimbang batas lebih dari itu.”

“Penelitian saat ini menunjukkan perbedaan yang besar antara 1.5° dan 2°C untuk banyak sistem.” – Climate News Network

Top