13 Musisi Indonesia Suarakan Krisis Iklim Lewat Album Sonic/Panic

Reading time: 3 menit
Musisi Indonesia menyuarakan krisis iklim lewat album sonic/panic. Foto: Music Declares Emergency (MDE) Indonesia
Musisi Indonesia menyuarakan krisis iklim lewat album sonic/panic. Foto: Music Declares Emergency (MDE) Indonesia

Jakarta (Greeners) – Berangkat dari kesadaran dan kekhawatiran akan krisis iklim, 13 musisi Indonesia dari berbagai genre bergabung untuk sebuah album kompilasi bertajuk ‘sonic/panic’. Sejumlah musisi ternama dalam negeri pun turut berpartisipasi. Pada album ini, mereka menuangkan ekspresi kreatifnya dengan menyuarakan isu paling darurat di dunia.

Musisi tersebut ialah Iga Massardi, Endah N Rhesa, Navicula, Tony Q Rastafara, Tuantigabelas, Iksan Skuter, FSTVLST, dan Made Mawut. Kemudian, Nova Filastine, Guritan Kabudul, Kai Mata, Rhythm Rebels, dan Prabumi pun ikut berkontribusi.

Uniknya, pada setiap musisi yang terlibat pada album ‘sonic/panic’ telah membawa karakter dan gaya musik mereka masing-masing ke dalam kolaborasi ini. Selain itu, ‘sonic/panic’ diproduksi oleh Alarm Records, label rekaman sadar iklim pertama di Indonesia yang dibentuk oleh ke-13 musisi yang telah terlibat.

BACA JUGA: Net Zero Summit 2023 Galang Aksi Nyata Atasi Krisis Iklim

“Aku paling cengeng sepanjang workshop dan sempat mengalami mental breakdown di hari kedua. Ini merupakan masalah yang berat. Sebagai musisi, kami harus punya cara untuk mengekspresikan kekhawatiran dan ketakutan,” ungkap Personil Endah N Rhesa, Endah Widiastuti dalam Press Conference di Jakarta, Selasa (24/10).

Menurut Endah, meskipun bukan bermaksud menakut-nakuti, faktanya telah ada bahwa di kurun waktu tertentu krisis ini akan terjadi.

Gagasan untuk membuat album kompilasi ‘sonic/panic’ muncul setelah ke-13 musisi ini berkumpul di Bali beberapa bulan lalu. Para musisi mengikuti workshop serta diskusi soal isu iklim dan cara musisi dapat turut berkontribusi dalam mengatasi isu ini.

“Setelah workshop waktu itu aku hampir tidak bisa ikut press conference di Bali karena aku merasa hancur melihat kenyataan yang terjadi,” ujar Endah.

Angkat Beragam Topik Isu Lingkungan

Sementara itu, album ‘sonic/panic’ terdiri dari 13 lagu dari 13 musisi dengan berbagai genre. Misalnya, seperti hip-hop, rock, blues, electronica, reggae, pop, hingga world music. Adapun topik di tiap lagu juga beragam seperti isu krisis iklim, degradasi alam, polusi plastik, dan panggilan untuk aksi nyata secara kolektif.

“Harus ada gerakan masif di mana semua pihak perlu terlibat demi generasi yang akan datang. Sebab, rasanya tidak adil kalau kita sudah tua, atau sudah tidak ada, tetapi menyisakan suatu hal yang tidak kita perjuangkan dengan baik,” tambah Endah.

Rapper Upi atau Tuantigabelas juga merasakan pengalaman yang hampir sama. Dirinya ‘menyesal’ mengikuti workshop di Bali waktu itu, karena melihat fakta yang banyak dan menakutkan.

BACA JUGA: Praktik Guna Ulang Solusi Kurangi Sampah Plastik dan Krisis Iklim

“Hari pertama kami semua masih bisa ngobrol. Hari kedua semua terdiam. Ini bumi bagaimana, ya? Faktanya bikin kami bengong. Aku sama Endah sempat makan bareng, lalu saling pandang dan kami tanpa sadar menangis. Ini serius sekali. Ini adalah tongkat estafet yang harus disampaikan dalam bentuk yang aku tahu, yaitu musik,” ujarnya.

Menurut Upi, seluruh lagu dalam album ini merupakan suara terdalam dari para musisi. Dirinya menyatakan bahwa lagu ini yang paling sulit untuk ditulis.

“Jadi ada khawatir, putus asa, tapi harus punya harapan karena saya punya tiga anak. Saya tidak mau bumi ini habis begitu saja buat generasi berikutnya,” tambah Upi.

Musisi Indonesia menyuarakan krisis iklim lewat album sonic/panic. Foto: Music Declares Emergency (MDE) Indonesia

Musisi Indonesia menyuarakan krisis iklim lewat album sonic/panic. Foto: Music Declares Emergency (MDE) Indonesia

Ada Sense of Urgency pada Album ‘Sonic/Panic’

Dalam kesempatan yang sama, Gede Robi dari band Navicula mengungkapkan, musisi sebagai bagian dari masyarakat juga ingin terlibat dalam menyuarakan isu ini melalui ‘sonic/panic’.

“Sonic adalah audio, panic ada sense of urgency. Kami sebagai musisi berkontribusi terhadap negara karena tujuan negara memang harus membersihkan emisi Indonesia sesuai target tahun 2060,” kata Robi.

Lagu ‘Plastic Tree’ milik Endah N Rhesa, misalnya. Lagu itu menggambarkan dunia tanpa pohon yang digantikan replika plastik. Lewat liriknya, telah menjadi pengingat yang kuat tentang dampak lingkungan dari tindakan manusia.

“Kami membawa imajinasi jika di dunia ini tidak ada pohon, tidak ada burung yang bernyanyi, ayam berkokok, lebah memanfaatkan baterai supaya mereka bisa terbang, segalanya lebih artifisial. Semua jadi mengagumkan, tapi menyeramkan. Kita jangan menganggap remeh kemampuan kita menemukan hal-hal baru, tetapi ada risiko juga. Ada kemegahan, ada kehancuran, ketakutan. Jadi mixed feelings,” imbuh Robi.

Navicula Suarakan Pemanasan Global

Pada lagu ‘House on Fire’, band Navicula menyuarakan pemanasan global dan spirit kolaborasi. Navicula yang berdiri sejak tahun 1996 telah membicarakan isu lingkungan sejak awal.

“Meskipun sepertinya sudah gencar mengangkat isu ini, rasanya tidak ada perubahan. Kami menyadari rasanya harus lebih banyak kolaborasi. Jadi, spirit lagu  ‘House on Fire’ ini adalah kolaboratif. Alangkah besarnya gaung ini jika semua industri kreatif membicarakan isu ini,” kata Robi.

Selain itu, album ‘sonic/panic’ ini akan meluncur secara serentak di seluruh platform streaming digital, pada  4 November 2023 mendatang.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top