Kearifan Lokal, Mitigasi Bencana yang Terlupakan

Reading time: 2 menit
kearifan lokal
Tsunami yang menerjang pantai barat Banten dan Selatan Lampung pada 22 Desember 2018 lalu menyebabkan ratusan orang meninggal dunia. Foto: BNPB

Jakarta (Greeners) – Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang berada di suatu wilayah dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal diwariskan secara turun-temurun melalui cerita, syair, atau pun dongeng. Ternyata melalui cerita rakyat lahir pengetahuan kearifan lokal yang berkaitan dengan bencana alam, seperti kisah Smong yang menyelamatkan nyawa warga Simeulue ketika tsunami di Aceh tahun 2004 lalu.

Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara mengatakan, pada tahun 1907, tsunami yang oleh warga setempat disebut smong pernah menghantam pulau Simeulue. Kejadian itu membekas di ingatan kolektif warga. Sebagai pengingat tsunami, ada syair yang bercerita tentang kejadian ini dan terus dituturkan dari generasi ke generasi. Salah satu pesannya adalah jika ada gempa segera lari ke atas bukit, tak perlu melihat laut surut.

“Cerita rakyat mengenai gempa bumi dan tsunami sebetulnya sudah ada, seperti cerita Smong di Simeulue, Aceh. Saat terjadi tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, meski Simeulue yang paling awal kena, tercatat hanya tujuh korban meninggal,” tutur Herry kepada Greeners melalui telepon, Selasa (08/01/2019). Catatan sejarah dan penelitian geologi menunjukkan pulau Simeulue pernah terlanda tsunami tahun 1797, 1861 dan 1907.

BACA JUGA: 2.564 Kejadian Bencana Alam Terjadi di Indonesia Sepanjang Tahun 2018 

Menurut Herry pengetahuan kearifan lokal bisa dijadikan pendidikan siaga bencana yang sesuai dengan karakteristik lokal dan diperbarui sesuai dengan kejadian-kejadian bencana terbaru. Kedekatan dengan alam juga menjadikan masyarakat lokal memiliki potensi untuk penyelamatan mandiri.

Sayangnya, tidak semua kearifan lokal diketahui masyarakat setempat. Direktur Yayasan Merah Putih (YMP) Palu, Amran Tambaru mengatakan bahwa banyaknya korban akibat tsunami yang terjadi di Palu pada akhir September 2018 lalu juga disebabkan kurangnya pengetahuan terhadap kearifan lokal.

“Sebenarnya dua lokasi likuifaksi di Kota Palu secara tradisional merupakan lokasi konservasi air. Ini ditandai dengan penyebutan nama dan keterangan para tetua yang masih hidup hingga kini,” ujar Amran kepada Greeners saat ditemui dalam diskusi media “Audit Tata Ruang: Menelisik Pengetahuan Lokal Atas Ruang dan Kebijakan Pembangunan Nasional”.

BACA JUGA: Mitigasi Bencana Belum Maksimal, Pemerintah Diminta Audit UU Penataan Ruang 

Amran mengatakan di Palu terdapat komunitas adat berbasis kearifan lokal. Komunitas adat tersebut memiliki pengetahuan cara menyelamatkan diri ketika ada bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. Kabupaten Sigi dan Palu juga memiliki komunitas adat yang masih sangat taat terhadap hukum adat.

“Ada komunitas adat Kulawi, komunitas Wana Persangke, komunitas Wana Ngabulan, komunitas Tojo Una-una dan komunitas Morowali. Mereka memiliki pengetahuan adat terkait kebencanaan cukup baik, seperti mengetahui jalur evakuasi untuk anak dan keluarga, tahu pangan-pangan lokal sebagai makanan cadangan di tempat evakuasi, dan tahu struktur bangunan yang terbuat dari alam sehingga adaptif terhadap bencana,” ujar Amran.

Amran menyayangkan pengetahuan tersebut tidak digunakan sebagai acuan mitigasi bencana oleh Pemerintah Daerah. Menurutnya pengetahuan kearifan lokal terkait mitigasi bencana bisa diapresiasi dengan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan muatan lokal dan dilatih secara terus-menerus agar mudah diingat.

“Harapan saya sinergi pengetahuan modern dan pengetahuan kearifan lokal ini bisa disatukan. Memang pasti ada kekurangan dan kelebihan tapi intinya bisa mengurangi korban,” kata Amran.

Penulis: Dewi Purningsih

Top