KLHK Alokasikan 12,7 Hektar Hutan untuk Kegiatan Perhutanan Sosial

Reading time: 2 menit
perhutanan sosial
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Demi menghadirkan negara untuk melindungi rakyat Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta ha atau setara 10% dari luas kawasan hutan Indonesia untuk kegiatan Perhutanan Sosial yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat, Kemitraan dan termasuk juga alokasi pencadangan Hutan Adat.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan bahwa kebijakan perhutanan sosial saat ini merupakan kebijakan utuh, yaitu hutan bagi kesejahteraan masyarakat dengan skema perhutanan sosial. KLHK sendiri telah mengalokasikan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang tersebar di 33 Provinsi terdiri dari Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi dapat Dikonversi, Hutan Produksi Tetap, dan Kemitraan dengan luasan total ±13.462.101 ha.

Menurut Siti, sampai dengan Oktober 2016, Penetapan Areal Kerja (PAK) Perhutanan Sosial oleh Menteri LHK seluas 1.667.673 ha telah dilakukan. Kemudian keterlibatan jumlah Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dalam pengelolaan HKm, HD, HTR, dan Kemitraan Kehutanan sampai dengan saat ini mencapai 1.737 KUPS.

BACA JUGA: Pengakuan Lisensi FLEGT Indonesia Akan Tingkatkan Pemasukan Negara

Pemberian akses kelola hutan kepada masyarakat ini, terusnya, dilakukan sebagai upaya untuk memberikan jaminan kepastian hak rakyat atas sumber-sumber kehidupannya, penyelesaian konflik, melakukan perlawanan terhadap kemiskinan yang banyak terjadi di dalam dan sekitar kawasan hutan, perlindungan lingkungan hidup serta menjawab tantangan perubahan iklim.

“Jadi, kebijakan perhutanan sosial bukan hanya soal perizinan semata, melainkan soal pintu masuk, akses kelola hutan menuju kesejahteraan,” jelas Siti saat membuka acaraSimposium Internasional Pengakuan atas Wilayah Kelola Rakyat, Tantangan dan Peluang Mewujudkan Keadilan iklim, Jumat (25/11), di kota Bandar Lampung, Lampung.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Nasional (Walhi), Nur Hidayati mengatakan bahwa kebijakan 12,7 juta hutan, yang luasnya hampir sama dengan luas satu negara Inggris, yang akan diberikan hak pengelolaannya kepada rakyat sesungguhnya merupakan kontribusi Indonesia dalam penanganan perubahan iklim global.

Komitmen pemerintah Indonesia harusnya menjadi momentum bagi pembenahan tata kelola sumber daya alam, termasuk didalamnya sebagai momentum untuk berhenti memberikan kepercayaan kepada korporasi yang terbukti telah gagal.

“Kini sudah saatnya negara memberikan kepercayaan kepada komunitas dengan memberikan pengakuan hak wilayah kelola rakyat, termasuk dalam pengelolaan hutan,” tambahnya.

BACA JUGA: Menteri Siti Nurbaya Evaluasi Pengelolaan Hutan yang Dikelola BUMN

Pimpinan jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terbesar di dunia Friends of the Earth International, Jagoda Munic yang turut hadir dalam kesempatan tersebut menyampaikan, dunia saat ini sudah terkena dampak perubahan iklim. Ia mengakui masih dibutuhkan kerja keras dari semua pihak dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin terlihat.

“Kami masih terus bekerja keras dalam mengatasi dampak perubahan iklim tersebut dengan mengembangkan program keadilan iklim dan energi, yakni dengan beralih kepada energi ramah lingkungan dan terbarukan. Keadilan dalam pemanfaatan energi ini perlu dilakukan karena 1/5 dari penduduk dunia belum memiliki akses terhadap energi,” tutupnya.

Sebagai informasi, simposium yang dibuka Menteri LHK ini merupakan bagian dari Biennial General Meeting Friends of the Earth International, pertemuan organisasi lingkungan hidup berbasis akar rumput yang bekerja untuk mewujudkan tatanan dunia yang berkeadilan secara ekonomi, sosial dan ekologis. Dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dari tingkat internasional dari 74 negara, nasional dan daerah, simposium internasional ini bertujuan memperkuat solidaritas dan gerakan masyarakat dunia dalam mewujudkan keadilan iklim.

Penulis: Danny Kosasih

Top