IPEN Peringatkan Ancaman Polusi RDF, Bahan Bakar dari Limbah Plastik

Reading time: 4 menit
RDF bahan bakar dari limbah plastik, penggiat lingkungan khawatirkan menambah beban polusi dari kadar Dioksin dan Furan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – The International Pollutants Elimination Network (IPEN) memperingatkan negara-negara di Asia Tenggara akan bahaya bahan bakar dari limbah plastik. Hasil penelitian IPEN terhadap Australia yang mengubahnya menjadi bahan bakar atau refuse-derived fuel (RDF) menjadi perhatian serius.

Seruan aksi menghentikan ekspor sampah dan limbah plastik yang berasal dari Australia pun mencuat. Sebelumnya, Australia telah memastikan menghentikan ekspor sampah yang tidak mereka proses pada tahun 2020 lalu. Hal ini terjadi setelah negara-negara di Asia Tenggara melarang impor limbah plastik pada tahun 2018.

Indonesia, Malaysia dan Filipina punya potensi dan risiko ketika menggunakan RDF dari sampah Australia. Sampah plastik campuran dalam bentuk RDF terbukti mengandung zat aditif kimia beracun seperti polutan organik persisten, logam berat dan bahan kimia pengganggu endokrin.

Koordinator kampanye untuk Zero Waste Australia Jane Bremmer mengungkap, ekspor sampah dan limbah plastik yang pemerintah Australia lakukan mengancam negara-negara di Asia Tenggara.

“Australia telah secara efektif mengubah nama sampah plastik menjadi bahan bakar yang berasal dari sampah RDF sehingga dapat terus mereka perdagangkan,” katanya dalam webinar “Ekspor Bahan Bakar Plastik: Realita Baru di Asia Tenggara Setelah Australia Melarang Ekspor Sampah Plastik”, baru-baru ini.

RDF, sambung Jane tak bisa masyarakat anggap sebagai sumber emisi rendah karbon. Pemerintah Australia telah menyalahi Konvensi Basel. Konvensi ini mengatur tentang pengendalian pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan pembuangannya serta komitmen terhadap perubahan iklim.

Dalam penelitian IPEN berjudul “Australian Refuse-Derived Fuel” menunjukkan bagaimana undang-undang limbah baru yang Australia perkenalkan mendorong infrastruktur bahan bakar limbah plastik, juga toksisitas dan dampaknya bagi kesehatan.

Beberapa kekhawatiran ini harus menjadi perhatian bagi negara-negara di Asia Tenggara, yakni terkait rencana mendanai dan mempromosikan ekspor RDF sebagai energi bersih terbarukan.

RDF, Bahan Bakar yang Memperkuat Ancaman Polusi

Sementara itu Senior Advisor dari Nexus 3 Foundation Yuyun Ismawati menyatakan, beragam jenis sampah impor dari Australia masuk ke Indonesia selama tahun 2017-2020. Sampah itu mulai dari scrap kertas, plastik, ban hingga kaca. Celakanya, terdapat campuran bahan RDF yang menyusup di dalamnya yaitu kode HS 3825 dan HS 360690.

Yuyun juga menyebut, di saat negara-negara lain mulai beralih ke energi bersih terbarukan, Indonesia justru sedang berinvestasi besar-besaran ke berbagai pemanfaatan energi RDF. Energi yang mengandung Dioxin dan Furan. Langkah ini justru membuka lebar ancaman polusi.

Pemerintah, tambahnya juga seolah memberikan ‘lampu hijau’ berupa pelonggaran kebijakan yang semakin membuka pemanfaatan RDF. Salah satunya melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Baku Mutu Emisi bagi Usaha atau Kegiatan Industri Semen.

Aturan itu menyebut, nilai bahan baku mutu emisi Dioxin dan Furan (PCDD) yaitu sebanyak 0,1 ng TEQ/Nm2. Pengukuran harus empat tahun sekali setelah beroperasinya RFD. “Padahal pengukuran limbah berbahaya lainnya diukur setahun sekali. Ini tak adil,” tegas Yuyun.

Sementara untuk standardisasi biobriket dan biopelet sumber energi RDF juga telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI). Misalnya SNI 8951:2020 pelet biomassa untuk pembangkit listrik (bahan bakar jumputan padat untuk pembangkit listrik). Besarannya sebanyak 27-10, untuk bio energi padat dan gas.

Yuyun menyebut, standar tersebut bersifat sukarela, sehingga para pelaku produsen maupun industri semen tidak memiliki kewajiban untuk menaatinya. “Seharusnya diwajibkan karena kalau tak ada peraturan yang tegas akan sama saja,” imbuhnya.

RDF merupakan teknologi pengolahan sampah sehingga menghasilkan sumber energi terbarukan dalam proses pembakaran. Ada klaim RDF ini sebagai tonggak baru dalam pengelolaan sampah di Indonesia dan berpotensi menggantikan batu bara.

Yuyun menyebut, Indonesia seharusnya memprioritaskan alokasi dana dalam peningkatan sistem manajemen sampah secara keseluruhan. Daripada mengalokasikan dana untuk RDF. Pasalnya, permasalahan sampah di Indonesia sangat mengkhawatirkan.

Pemerintah Menerapkan SOP dan Pengawasan

Menanggapi hal itu, Direktur Penanganan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengungkapkan, pengolahan sampah melalui teknologi termal, baik itu melalui waste to energy maupun RDF selama ini dengan standar operasional prosedur (SOP) dan monitoring pengawasan yang ketat.

Itu artinya, pengolahan tersebut menutup peluang pencemaran Dioxin dan Furan. Novrizal menyebut, keberadaan kandungan ini terjadi saat proses pembakaran yang tak sempurna.

KLHK, sambungnya juga mempunyai standar baku mutu yang telah pemerintah tetapkan untuk memastikan Dioxin dan Furan yang menyebar imbas pembakaran sampah. Ia membenarkan, idealnya baku mutu Dioksin dan Furan harus ada pemeriksaan rutin.

“Permasalahannya, Indonesia belum mempunyai laboratorium khusus untuk memeriksa Dioksin dan Furan ini,” katanya kepada Greeners, Jumat (4/3).

Saat ini pemeriksaan harus ke luar negeri, seperti ke Cekoslovakia dan Selandia Baru. Namun, ia memastikan seiring dengan banyaknya teknologi termal yang ada di Indonesia pasti akan turut mendesak kebutuhan akan pembangunan laboratorium ini.

Waste to Energy Akan Terimplementasi di 12 Kota

Berdasarkan target pemerintah, waste to energy akan terimplementasi di 12 kota di Indonesia. Selain itu 34 titik pabrik semen RDF dan beberapa PLTU yang juga akan memanfaatkan RDF ini.

Sementara itu, menyoal sampah sebagai bahan RDF, Novrizal menyebut pengelolaan sampah di Indonesia tak bisa publik pandang secara ‘hitam putih’.  Mengingat banyaknya jumlah sampah yang masyarakat hasilkan.

Selama ini, masyarakat belum bisa secara masif bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan. Dalam hal ini, pemerintah melakukan berbagai pendekatan dan terobosan. Termasuk dengan memanfaatkan pendekatan waste to energy dan RDF agar sampah bisa terkelola dengan baik.

“Kita terus kampanyekan gaya hidup minim sampah, tapi juga sekaligus di masa transisi ini kita pakai pendekatan pragmatis menggunakan RDF ini,” paparnya.

Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Luckmi Purwandari menyebut, mengacu Peraturan Menteri LHK Nomor P.70 Tahun 2016 Tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan Kegiatan Pengolahan Sampah secara Termal turut mengatur standar baku mutu untuk Dioxin dan Furan.

“Dengan adanya baku emisi yang ditetapkan, TPST harus memilih teknologi yang tepat yang bisa memenuhi baku mutu emisi yang ditetapkan,” kata Luckmi.

Berbagai alternatif teknologi yang digunakan di antaranya dengan cara gasifikasi, insinerasi atau pyrolisis.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top