KLHK Berencana Pembentukan Perda Hutan Adat Masuk Anggaran 2016

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: freeimages.com

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan akan memasukkan anggaran untuk memfasilitasi pembentukan Peraturan Daerah sebagai turunan dari implementasi putusan MK 35 tentang pengakuan hutan adat pada daftar isian penggunaan anggaran (dipa) anggaran tahun 2016. Hadi Daryanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK mengatakan bahwa dimasukkannya anggaran tersebut karena daerah masih belum memiliki anggaran terkait hal tersebut.

“Jadi masalahnya memang di budget atau anggaran. Umumnya kan anggaran itu ada hanya untuk sosial, pendidikan, dan lainnya. Untuk lingkungan hampir enggak ada,” tutur Hadi saat menghadiri acara Climate Art Day di Taman Hutan Manggala Wanabhakti, KLHK, Jakarta, Sabtu (12/12).

Menurut Hadi, diperlukan sebesar 20 miliar untuk memfasilitasi pembentukan perda di 13 lokasi sesuai dengan hasil riset yang dilakukan oleh Perkumpulan Huma dengan 12 organisasi mitra (JKMA Aceh, KKI Warsi, AMAN Sulawesi Selatan, AKAR Foundation, Perkumpulan Qbar, RMI, LBBT, Perkumpulan PADI, Perkumpulan Bantaya, Yayasan Merah Putih Palu, Perkumpulan Wallacea).

Ke 13 lokasi tersebut yaitu Masyarakat Adat Seko di Sulawesi Selatan, Marga Serampas di Jambi, Mukim Lango dan Mukim Beungga di Aceh, Kasepuhan Karang di Banten, Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan, Malalo Tigo Jurai di Sumatera Barat, Margo Suku IX di Bengkulu, Ketemenggungan Desa Belaban Ella di Kalimantan Barat, Ngata Marena di, Sulawesi Tengah, Lipu Wana Posangke di Sulawesi Tengah, Ketemenggungan Desa Tapang Semadak di Kalimantan Barat; dan Kampong Mului di Kabupaten Paser.

“Hasil riset dari Perkumpulan HuMa di 13 lokasi tersebut menunjukan bahwa sebagian daerah sudah memiliki produk hukum daerah (Perda, SK) yang mengukuhkan atau menetapkan masyarakat hukum adat tertentu, sehingga sudah memenuhi prasyarat untuk didaftarkan menjadi hutan adat menurut ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk Setjen/2015 tentang Hutan Hak,” ujarnya.

Di antara ke 13 lokasi tersebut, kata Dahniar Andriani, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa menambahkan, tiga lokasi di anataranya telah mengajukan permohonan penetapan hutan adat, yakni Lipu Wana Posangke, Kasepuhan Karang, dan Marga Serampas.

“Pentingnya penetapan hutan adat ini adalah untuk mengakui kedudukan Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek hukum yang memiliki hak atas hutannya,” tambahnya.

Menurut Dahniar, hutan adat bagi masyarakat hukum adat menjadi satu kesatuan tidak terpisahkan. Hutan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat hukum adat yang telah menopang kehidupan kesehariannya, sekaligus titipan bagi generasi yang akan datang.

Pemerintah perlu menjamin kepastian legal untuk hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya dalam rangka menjamin kesejahteraan bagi masyarakat hukum adat, seperti yang dicita-citakan dalam Konstitusi. Sementara, UU Kehutanan 1999 telah memisahkan hutan adat dari masyarakat hukum adat melalui “negaraisasi” hutan.

Putusan MK nomor 35 tahun 2012 secara legal merevisi klaim sepihak Pemerintah, yang selama ini memasukkan hutan adat sebagai hutan negara. “Negaraisasi” tanah-tanah hutan masyarakat hukum adat telah berakibat pada pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat, pemiskinan dan deskriminasi masyarakat hukum adat.

“Implementasi Putusan MK 35 tahun 2012 menjadi hal penting. Dalam rangka itu, implementasi penetapan hutan adat berdasarkan Putusan MK 35 tahun 2012 membutuhkan dialog antar institusi terkait, seperti Kementerian Kehutanan, Kementrian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, serta masyarakat adat sendiri,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top