Jakarta (Greeners) – Sebanyak 8,5 juta hektare wilayah masyarakat adat terampas. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, setidaknya terdapat 301 kasus berkaitan wilayah masyarakat adat. Data tersebut merupakan catatan selama lima tahun terakhir (2018-2022) AMAN.
AMAN mencatat beberapa konflik lainnya yang sudah terjadi akibat Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti proyek Food Estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), proyek Geothermal di Manggarai, NTT. Kemudian, proyek pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.
“Semua konflik itu kami dokumentasikan dalam Catatan Akhir Tahun AMAN. Pada IKN, setidaknya terdapat 21 komunitas masyarakat adat yang mendiami wilayah pembangunan IKN. AMAN memperkirakan sedikitnya terdapat 20.000 jiwa yang akan terampas haknya akibat proyek ambisius IKN di Kalimantan Timur itu,” ungkap Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) AMAN, Muhammad Arman.
BACA JUGA: 10 Hak Masyarakat Adat Terampas Akibat Proyek di Rempang
Arman menjelaskan, untuk kesekian kalinya tidak terlihat peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mencegah terjadinya tindakan represif terhadap masyarakat adat.
“Pemerintah atau penyelenggara negara gagal menjalankan mandatnya untuk melindungi hak-hak warga, termasuk dalam hal ini masyarakat adat, bahkan cenderung lebih pro terhadap kepentingan investasi-korporasi,” jelasnya.
Menurut dia, kehadiran aparat dalam jumlah besar justru memicu potensi konflik. Ada ketimpangan dalam adu kekuatan antara aparat dengan masyarakat terdampak, terutama masyarakat adat. Pola serupa terjadi di semua PSN yang saat ini sedang dikebut oleh pemerintah seiring dengan hampir berakhirnya periode pemerintahan Presiden Jokowi di 2024 mendatang.
“Saya tegaskan, kita tidak bisa ‘membeli’ sejarah. Negara telah gagal mempertahankan identitas warganya dan menghilangkan ruang hidup dan penghidupan mereka. Terutama pada anak-anak muda sebagai pemilik masa depan bangsa,” ujar Arman.
AMAN Soroti Prosedur Pelaksanaan PSN
Sementara itu, AMAN juga menyoroti pelaksanaan PSN secara prosedur masih terburu buru. Menurutnya, banyak permasalahan besar yang muncul.
Misalnya, tidak adanya persetujuan sejak awal penetapan lokasi PSN, proses musyawarah tidak dengan itikad baik, hingga intimidasi terhadap masyarakat sekitar proyek, yang seringkali berakhir dengan kriminalisasi.
Mirisnya, upaya kriminalisasi tersebut justru menimpa orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup yang baik bagi generasi penerus bangsa ini.
BACA JUGA: KLHK Minta Pemimpin Daerah Tegas Benahi Pengelolaan Sampah
“Seperti konflik di Rempang yang sedang terjadi saat ini. Pemerintah menyangkal bahwa masyarakat yang tinggal di Rempang bukanlah masyarakat adat, serta belum memiliki legalitas hukum. Namun, jika 16 Kampung Tua mengklaim eksistensi mereka melalui hukum masyarakat adat, maka itu harus dihormati,” ungkap Arman.
Arman melanjutkan, ketiadaan pengakuan dari negara tidak berarti bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya–termasuk hak atas wilayah adat yang telah ditempati secara turun-temurun–itu hilang.
Solusi Penyelesaian Konflik Akibat PSN
Organisasi masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan AMAN menyerukan untuk menghentikan PSN yang berpotensi memicu konflik. Agar tidak memakan banyak korban, berbagai konflik yang terjadi akibat PSN perlu penyelesaian secara cepat, efektif, dan mengakomodasi hak masyarakat sekitar, termasuk masyarakat adat.
Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat, Divisi Wilayah Kelola Rakyat (WKR) Walhi, Ferry Widodo turut merespons penyelesaian konflik Rempang. Menurut dia, pemerintah harus mengakui masyarakat yang ada di Pulau Rempang.
Bukti pengakuan adalah dengan tidak memaksa masyarakat keluar dari Kampung Melayu Tua. Menurut Ferry, PSN harus dihentikan karena sudah mencederai dan menjauhkan masyarakat dari sumber penghidupannya.
“Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang seolah melegalkan kejahatan kemanusiaan. Salah satunya melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tidak mewajibkan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL),” ungkap Ferry.
Kemudian, perlu juga melakukan pengecekan dokumen yang sudah dikeluarkan. Seperti HPL (hak pengelolaan) pada perusahaan PT MEG yang akan mengembangkan Rempang Eco City.
“Sekali lagi saya tegaskan, HPL bukan pengakuan hak atas tanah, hanya hak pengelolaan kepada badan usaha atau pemerintah. Namun, jika ada masyarakat di atasnya wajib direlokasi dan ganti rugi dengan syarat musyawarah,” ungkap Ferry.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia