KLHK Klaim Telah Membuka Data Kehutanan dan Dapat Diakses oleh Publik

Reading time: 3 menit
data kehutanan
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Organisasi non-pemerintah Greenpeace Indonesia mengeluhkan sikap tertutup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait data dan informasi kehutanan. Data tersebut dibutuhkan para aktivis lingkungan hidup untuk memetakan masalah kehutanan yang sering terjadi. Menanggapi keluhan tersebut, KLHK mengklaim telah menerapkan transparansi dalam hal publikasi data kehutanan yang dapat diakses publik melalui situs resmi KLHK.

Djati Witjaksono Hadi, Kepala Biro Humas KLHK, mengatakan bahwa berbagai informasi terkait isu-isu lingkungan hidup dan kehutanan dapat diketahui oleh publik sesuai dengan kategorisasi/klasifikasi informasi publik. Hal ini diyakininya merupakan wujud nyata penerapan prinsip transparansi informasi dari KLHK.

Sedangkan terkait permintaan data kehutanan oleh Greenpeace Indonesia, KLHK telah menyampaikan peta-peta yang diminta dalam format JPG, serta data yang dapat diakses melalui http://webgis.dephut.go.id/. Data sebaran konsesi perizinan juga dapat dilihat dalam website resmi KLHK.

“Klaim pihak Greenpeace Indonesia tidak benar bahwa KLHK menolak memberikan data kehutanan. Pernyataan tersebut dapat menyesatkan informasi kepada publik,” ujar Djati di Jakarta, Rabu (31/05).

BACA JUGA: Enam Tahun Moratorium Hutan: 2,7 Juta Hektar Lahan Hilang

Dalam setiap pengambilan keputusan, Djati menyatakan bahwa KLHK selalu menjalin komunikasi dan menjadi simpul negosiasi berbagai pemangku kepentingan seperti akademisi dan LSM. Sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan menjadi keputusan yang tidak memihak golongan tertentu, karena berdasarkan informasi yang lengkap dan utuh (well-informed). Ia pun membantah tudingan Greenpeace yang mengatakan KLHK telah menutupi informasi mengenai data dan peta kehutanan.

“Jadi tidak benar kalau KLHK menutupi informasi mengenai data dan peta kehutanan, karena semua sudah terlampir di website resmi KLHK dan sudah diberikan juga dalam format tertentu dengan tingkat skala yang cukup,” tambah Djati.

Sebelumnya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Ratri Kusumohartono mengatakan bahwa KLHK menolak memberikan dokumen terkait data peta hutan tahun 2012-2013. Salah satu alasannya, KLHK takut dokumen tersebut disalahgunakan.

Menurut Ratri, tujuh dokumen berupa peta tutupan hutan sebenarnya membantu aktivis yang ahli pemetaan untuk mengukur sejauh deforestasi terjadi di Indonesia. Data tersebut juga membantu pemantauan potensi titik api saat kebakaran hutan.

Menurut Ratri dokumen serupa sebenarnya pernah diberikan pemerintah melalui Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Namun setelah lembaga tersebut dibubarkan, kewenangan ada di tangan KLHK.

BACA JUGA: Akhirnya, KLHK Buka Dokumen Pengelolaan Hutan ke Publik

Greenpeace telah mengajukan gugatan melalui Komisi Informasi Pusat (KIP). Hasilnya, Greenpeace dimenangkan dan menyatakan bahwa dokumen tersebut dapat dibuka sebagai informasi publik. Atas putusan KIP tersebut, KLHK pun kemudian mengajukan upaya banding melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya, KLHK dimenangkan oleh hakim.

“Saat ini, Greenpeace telah melakukan upaya hukum lanjutan ke Mahkamah Agung dan kalau memang tidak ada yang salah dalam izin-izin kehutanan, kenapa pemerintah harus menutupi? Seharusnya pemerintah berani membuka dokumen ini kepada publik,” kata Ratri.

Majelis Hakim PTUN Jakarta sendiri pada tanggal 15 Februari 2017 telah memutuskan untuk mengabulkan permohonan keberatan (banding) Kementerian LHK atas putusan ajudikasi Majelis Komisioner KIP tentang sengketa informasi berupa pengecualian peta dengan format .shp.

Namun, terang Djati, sebelumnya pada tahun 2014, KLHK telah melakukan uji konsekuensi terhadap permohonan berformat shapefile (.shp) ini, dan ditetapkan bahwa peta format shapefile menjadi informasi yang dikecualikan. Jika ditinjau dari sisi hukum, data informasi peta Informasi Geospasial Tematik (IGT) dalam format shapefile yang ada di KLHK dikategorikan sebagai data informasi geospasial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 46 UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (IG).

Apabila KLHK menyebarluaskan IGT dalam format .shp atau yang belum disahkan, maka KLHK atau setiap orang yang menyebarluaskan berarti melanggar undang-undang, yaitu Pasal 62, maka dapat dikenai sanksi pidana dan denda sesuai Pasal 68 UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang IGT. UU No 4/2011 tersebut merupakan ketentuan yang lebih khusus (Lex Specialis) dan lebih baru (Lex Posterior) dibandingkan UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

“Dengan keputusan PTUN tersebut, maka putusan Majelis Komisioner KIP yang menyatakan bahwa informasi geospasial atau peta dalam format .shp adalah informasi publik yang terbuka itu, ya, jadi dinyatakan batal demi hukum. Dan terkait permohonan informasi peta kehutanan, KLHK akhirnya hanya dapat memberikan dalam format .jpg atau .pdf. Adapun informasi geospasial yang dibutuhkan dapat diakses melalui http://geoportal.menlhk.go.id atau http://webgis.dephut.go.id,” pungkas Djati.

Penulis: Danny Kosasih

Top