Enam Tahun Moratorium Hutan: 2,7 Juta Hektar Lahan Hilang

Reading time: 2 menit
moratorium hutan
Ilustrasi. Foto: wikimedia.org

Jakarta (Greeners) – Sedikitnya 2,7 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut hilang selama enam tahun pelaksanaan kebijakan penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Pada periode yang sama, setiap tahunnya 28 persen titik api telah menghancurkan kawasan hutan yang dilindungi dalam peta moratorium.

Temuan yang mengkhawatirkan dari pelaksanaan kebijakan moratorium yang diungkap oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global tersebut menunjukkan kalau selama enam tahun kebijakan berjalan, telah terjadi pengurangan luasan wilayah penundaan izin baru seluas 2,701,938 hektar.

“Ironinya, luasan wilayah itu tidak diketahui kemana dialihfungsikannya,” terang Linda Rosalina dari Forest Watch Indonesia, Jakarta, Jumat (05/05).

BACA JUGA: Luasan Moratorium Hutan Bertambah 191.706 Hektare

Lebih dari dua dekade, terusnya, bencana lingkungan akibat hancurnya hutan telah berdampak serius pada kehidupan masyarakat. Kebakaran hutan dan lahan gambut pada triwulan terakhir tahun 2015 adalah yang terparah sepanjang sejarah.

Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut dengan mengeluarkan INPRES Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang berlaku selama 2 tahun. Kebijakan ini diperpanjang dengan terbitnya INPRES Nomor 6 Tahun 2013, kemudian diperpanjang lagi oleh INPRES Nomor 8 Tahun 2015 tanpa ada penguatan substansi perlindungan.

“Namun pada praktiknya, meskipun telah diterapkan selama 6 tahun, kebijakan tersebut belum mampu mengatasi permasalahan terkait tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan diberlakukan secara parsial dan belum berdampak signifikan terhadap upaya penyelamatan hutan alam dan gambut yang tersisa,” ujar Linda.

Yustina Murdiningrum dari Epistema Institute mengatakan, selama tahun 2015 terdapat 69.044 titik api secara nasional. Sekitar 31 persen atau 21.552 titik api justru terdapat di wilayah yang dinyatakan dilindungi dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Sementara rata-rata sebaran titik api di wilayah PIPPIB dari tahun 2011 sampai dengan 2016 adalah sekitar 28,5 persen dari sebaran titik api nasional. Bahkan tren titik api cenderung meningkat.

BACA JUGA: Pemerintah Diminta Segera Terbitkan Aturan Moratorium Sawit

Sementara itu dari PIPPIB Revisi I sampai dengan Revisi XI, tutupan hutan dalam PIPPIB mengalami pengurangan seluas 831.053 hektare. Hal ini, katanya, menunjukkan bahwa kebijakan tersebut belum mampu menghentikan deforestasi bahkan di dalam wilayah moratorium (PIPPIB) itu sendiri. Selian itu masih adanya wilayah kelola rakyat dalam skema perhutanan sosial yang masuk ke dalam wilayah PIPPIB.

“Ini jelas berpotensi mengganggu izin kelola yang masih berlaku dan yang akan diajukan sehingga akan menghambat tercapainya target perhutanan sosial,” kata Yustina.

Teguh Surya dari Yayasan Madani Berkelanjutan menambahkan, Presiden sudah seharusnya didesak untuk dapat mengambil tindakan strategis bersama pemangku kepentingan lainnya dengan menyusun Peta Jalan Indonesia Menuju Bebas Deforestasi Tahun 2020.

Peta jalan tersebut seperti membuat Rencana Aksi Indonesia Menuju Bebas Deforestasi Tahun 2020, memantau jalannya implementasi dari Rencana Aksi Menuju Indonesia Bebas Deforestasi Tahun 2020, mempercepat terbitnya kebijakan Satu Peta, melakukan evaluasi perizinan terintegrasi, melakukan penegakan hukum dan penyelesaian sengketa alternatif.

“Enam langkah strategis tersebut merupakan indikator positif dan kuat yang dapat terukur dari Pemerintah Indonesia kepada dunia sebagai wujud komitmen menghentikan laju pengrusakan hutan hujan tropis seperti janji Presiden Jokowi di Paris 2015 lalu,” kata teguh.

Penulis: Danny Kosasih

Top