SVLK Tingkatkan Nilai Ekspor Kayu Indonesia Hingga 10,94 Miliar Dolar

Reading time: 2 menit
nilai ekspor kayu
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono (kanan) dan ketua APHI Indroyono Soesilo. Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Sejak resmi mendapatkan lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) pada 15 November 2016 lalu dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) diberlakukan di Indonesia, nilai ekspor kayu mengalami peningkatan. Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengakui bahwa ekspor kayu Indonesia telah mengalami tren kenaikan dari tahun ke tahun dimana salah satu faktor pendorongnya adalah SVLK.

Bambang menjelaskan, berdasarkan data KLHK, sepanjang 2012-2016, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kayu dan non kayu senilai sekitar 1,4 triliun. Secara kinerja, ekspor produk kayu Indonesia mengalami kenaikan selama enam tahun. Bila tahun 2012 dari sektor produk kayu Indonesia mengekspor US$ 10,02 miliar, tahun 2016 industri ekspor produk kayu mengalami penurunan menjadi sebesar US$ 9,87 miliar. Namun, tahun 2017 ekspor produk kayu kembali meningkat hingga US$ 10,94 miliar.

“Kalau dilihat dari hitungan, terjadi kenaikan terus-menerus walaupun belum maksimal produktivitasnya di hutan. Jelas sekali lisensi FLEGT Indonesia sudah diakui secara internasional, Uni Eropa dengan beberapa negara anggotanya sudah mengakui,” kata Bambang, Jakarta, Kamis (01/02/2018).

BACA JUGA: FLEGT Indonesia-EU Resmi Berlaku, Standar SVLK Perlu Ditingkatkan

Di sisi lain, Bambang mengatakan bahwa baru lisensi FLEGT Indonesia saja yang diakui di pasar luar negeri. SVLK, lanjutnya, menjadi jaminan bahwa kayu yang dihasilkan dikelola secara lestari. Selain itu, dengan adanya sistem ini konektivitas dengan negara-negara pengimpor dipastikan disertai dengan dokumen legal. Kondisi ini, menurut Bambang membuat kayu-kayu Indonesia bisa langsung di terima tanpa ada hambatan di negara tujuan.

“Apapun yang terjadi, pengawasan kami masih jalan. Jika ada yang melawan lisensi ini akan terkena sanksi berlapis. Ini yang membangun kontribusi ekonomi dari sektor kehutanan dan masih bisa diharapkan lebih baik lagi. Harapan Presiden pun kami bisa menyelesaikan masalah karena persoalan-persoalan di hilir atau di hulu hutan tidak lepas dari masalah lingkungan, sosial, produksi,” katanya.

BACA JUGA: Pengakuan Lisensi FLEGT Indonesia Akan Tingkatkan Pemasukan Negara

Selain itu, produksi sektor kehutanan juga mengalami tren kenaikan. Bila pada tahun 2015 produksi kayu bulat dari hutan tanaman sebesar 32,2 juta meter kubik, tahun 2017 mencapai 38,8 juta meter kubik. Hutan tanaman sendiri bersifat berkelanjutan, artinya pohon yang ditebang akan ditanam kembali karena hutan ini diperuntukkan untuk industri dengan sifat produksi massal (mass production).

“Kita harapkan lebih baik dari tahun lalu, di hutan tanaman bisa lebih berkembang lagi tahun ini. Kami targetkan perusahaan-perusahaan HTI yang belum aktif mampu menyelesaikan konflik wilayah kerjanya supaya bisa bermitra dengan rakyat. Harus itu karena industrinya masih dalam kapasitas bisa menerima kayu seperti industri pulp,” pungkas Bambang.

Penulis: Dewi Purningsih

Top