Jakarta (Greeners) – Permasalahan limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang perusahaan hasilkan harus ditangani dengan tepat. UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 telah mengatur standar pengelolaan limbah tersebut. Pasalnya, pengelolaan limbah B3 yang tak sesuai tak hanya berakibat fatal bagi lingkungan, tapi juga nyawa manusia.
Direktur Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Achmad Gunawan menyatakan hal tersebut. Menurutnya, mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja ada aturan pengelolaan limbah B3 pada sektor perusahaan. Khususnya dalam menyimpan limbah B3.
“Keberhasilan pengelolaan limbah B3 suatu perusahaan sangat ditentukan oleh penyimpanan yang sesuai standar. Ketidaktepatan dalam menyimpan limbah B3 ini tentu akan berakibat buruk baik bagi manusia hingga kerusakan lingkungan,” katanya dalam Webinar Supervisi Kebijakan Pengelolaan Limbah B3, Kegiatan Penyimpanan Limbah B3 dan Non B3, baru-baru ini.
Berbagai kegiatan pengelolaan limbah B3 ini meliputi pengurangan, penyimpanan, pengangkutan. Selanjutnya, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, penimbunan dan dumping.
Hadirnya UU tersebut berimbas pada perubahan pengelolaan limbah B3. Sebelum adanya UU tersebut, tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah B3 yang terintegrasi dengan persetujuan lingkungan hingga izin TPS LB3 diintegrasikan ke dalam Nomor Induk Berusaha (NIB). Selain itu juga ke dokumen Amdal, UKL-UPL (tergantung risiko pelaku usaha). “Karena semua telah terintegrasi maka tak ada lagi izin TPS LB3 yang berdiri sendiri,” ujar dia.
Laporan Online dan Berkala Pengelolaan Limbah B3
Ia menekankan pentingnya dokumen rincian teknis yang berisi informasi terkait detail pengelolaan limbah B3 perusahaan. Rincian teknis ini dilaporkan berkala secara online kepada pemerintah untuk memantau dan mengevaluasi pengelolaan limbah B3 setiap perusahaan. “Selain itu rincian ini bisa berubah mengikuti jumlah maupun kualitas jenis limbah yang perusahaan hasilkan,” ucapnya.
Senada dengan itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati menyatakan, pentingnya koordinasi membangun mekanisme unit-unit terkait dalam menerapkan pemenuhan persyaratan rincian teknis dan pengintegrasiannya. Misalnya, persetujuan lingkungan maupun aparat penegak hukum.
“Dalam pelaksanaan pemenuhan persyaratan rincian teknis dan pengintegrasiannya pasti terdapat kendala, perbedaan antara wilayah provinsi, kabupaten, kota. Namun, hal itu bukan berarti pelayanan publik jadi terhambat, kita cari pemecahan bersama sehingga memudahkan pelaku usaha,” imbuhnya.
KLHK Surati Pemda di Seluruh Indonesia
Sebelumnya, pada Februari lalu, KLHK telah mengirimkan surat kepada pemda di seluruh Indonesia. Surat berisi arahan integrasi rincian teknis penyimpanan sementara limbah oleh kepala dinas terkait.
“Koordinasi, konsultasi, dan bimtek antara KLHK dan seluruh Dinas Lingkungan Hidup di seluruh Indonesia akan menjadi kunci keselarasan pengelolaan limbah B3,” ujar dia.
Dalam hal ini KLHK berperan untuk menyetujui penyimpanan sementara limbah B3 dari perusahaan. “Bukan berarti mengabaikan pemenuhan persyaratan rincian persyaratan,” katanya.
Sementara Sekretaris Ditjen PSLB3 Sayed Muhadar menyatakan, pentingnya pemda untuk memahami ketentuan baru dalam pengelolaan limbah B3 perusahaan yang ada di wilayahnya.
Ketentuan terbaru tersebut terkait penyimpanan limbah B3. Harapannya ketentuan ini tak menghambat keberlanjutan investasi perusahaan. “Jangan sampai pengolahan limbah B3 ini menghambat investasi perusahaan,” ujarnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin