LIPI: Pemindahan Ibu Kota Negara Harus Memerhatikan Ancaman Bencana

Reading time: 2 menit
ancaman bencana
Tim peneliti LIPI menyatakan pemindahan Ibu Kota Negara harus mempertimbangkan ancaman bencana, baik bencana alam maupun konflik sosial. Hal ini disampaikan dalam diskusi publik “Tantangan Pemindahan Ibu Kota” di Media Center LIPI, Jakarta, Selasa (28/05/2019). Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyampaikan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Pulau Kalimantan harus dikaji dengan benar. Pasalnya di pulau ini terdapat lahan gambut dan sawit yang begitu banyak sehingga pembangunan infrastruktur berpotensi menimbulkan kebakaran lahan gambut dan banjir.

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto mengatakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam memilih lokasi ibu kota adalah ancaman bencana, baik bencana alam maupun konflik sosial.

“Kalimantan adalah pulau besar di Indonesia yang paling aman dari ancaman gempa dan tsunami meskipun data sebenarnya menunjukkan bahwa pulau ini tidak sepenuhnya bebas dari ancaman gempa dan tsunami. Keberadaan batubara dan gambut yang luas di Kalimantan jika dilihat dari perspektif ancaman bencana mengindikasikan potensi banjir dan kebakaran lahan gambut yang perlu diantisipasi jika ibu kota baru akan berada di Kalimantan,” ujar Eko pada diskusi publik “Tantangan Pemindahan Ibu Kota” di Media Center LIPI, Jakarta, Selasa (28/05/2019).

BACA JUGA: Pemerintah Pastikan Pemindahan Ibu Kota Negara Tidak Menganggu Hutan Lindung 

Lebih lanjut Eko mengatakan bahwa Pulau Kalimantan merupakan pulau yang memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia dan menyimpan jutaan air yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat nantinya. Jika lahan gambut tersebut dialihfungsikan untuk pembangunan IKN, jutaan air tersebut tidak bisa terserap dan menyebabkan potensi banjir besar.

“Memindahkan 6 juta penduduk ke tempat baru bukanlah hal yang mudah. Berapa lahan yang harus kita buka untuk menempatkan orang sebanyak itu? Hal itu akan memengaruhi lingkungan dan memperbesar risiko ancaman bencana seperti risiko karhutla,” kata Eko.

Sementara itu, Plt. Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI, Joeni Setijo Rahajoe mengungkapkan, studi mengenai ekologi gambut perlu disampaikan kepada masyarakat agar turut mengambil langkah antisipasi kebakaran hutan dan lahan.

“Efek Kebakaran hutan yang saat ini masih terjadi di wilayah Kalimantan (Kalteng) karena perubahan peruntukan lahan dan akibat kekeringan panjang sehingga bahan organik mudah terbakar juga harus dikaji detail oleh pemerintah,” katanya.

BACA JUGA: Tahun 2024 Indonesia Diperkirakan Siap Memindahkan Ibu Kota Negara 

Menurut Joeni, ekosistem gambut menyimpan karbon terbesar dan berperan dalam penentuan besar kecilnya emisi karbon setiap tahun sehingga harus ada upaya menciptakan lingkungan yang sehat dengan cara mengurangi emisi.

“Pengurangan emisi dilakukan dengan menurunkan lajunya, mengelola hutan dengan konsep berkelanjutan, rehabilitasi lahan yang terdegradasi, serta restorasi lahan gambut di sekitar lokasi,” katanya.

Joeni memaparkan bahwa di Kalimantan tercatat jumlah spesies tumbuhan berbunga dan paku-pakuan penyusun hutan gambut mencapai 927 spesies. Jumlah keanekaragaman hayati endemik Kalimantan mencapai 3.936 jenis.

Berdasarkan data yang disampaikan, sebaran ekosistem gambut di Pulau Kalimantan mencapai 27.827,35 hektare yang paling luas terletak di Kabupaten Katingan yaitu 8.225,82 ha (29,67%), di Kabupaten Kapuas 3.907,55 ha (14,04 %), Kabupaten Pulangpisau 3.265,64 ha (14,04 %) dan Kotawaringin Timur 3.028,62 ha (10,88%).

Penulis: Dewi Purningsih

Top