Mangrove: Benteng Pesisir dan Penyangga Iklim Indonesia

Reading time: 2 menit
Mangrove jadi benteng pesisir dan penyangga iklim Indonesia. Foto: Freepik
Mangrove jadi benteng pesisir dan penyangga iklim Indonesia. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Peringatan World Mangrove Day 2025 dengan tema “Coastal Biodiversity & Climate Buffer” menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali peran mangrove sebagai benteng pesisir sekaligus penyimpan karbon biru. Indonesia, yang memiliki 3,36 juta hektare mangrove—terluas di dunia—memegang tanggung jawab besar dalam melindungi ekosistem yang kaya keanekaragaman hayati ini.

Mangrove bukan sekadar tegakan pohon bakau di tepi pantai. Ekosistem ini merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan, udang, kepiting, burung air, dan mamalia, serta sekaligus menjadi “nursery ground” atau tempat pembesaran alami bagi berbagai jenis biota laut. Ini termasuk ikan-ikan yang menopang kehidupan jutaan masyarakat pesisir.

Secara ekologis, bakau dapat meredam abrasi, menahan tsunami, menyaring polutan, dan menyerap karbon signifikan —fungsi vital di tengah krisis iklim global.

BACA JUGA: Mowilex Tanam 25.000 Pohon Bakau di Kalimantan Barat

Selama bertahun-tahun, perlindungan bakau di Indonesia berjalan melalui berbagai kebijakan. Di antaranya Perpres No. 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Kemudian, Permenko Perekonomian No. 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional.

Namun, kebijakan-kebijakan tersebut bersifat strategis dan koordinatif tanpa panduan teknis yang mengikat. Fragmentasi kebijakan dan tekanan pembangunan pesisir kerap memicu alih fungsi bakau menjadi tambak atau infrastruktur.

Hadirkan Regulasi Perlindungan Mangrove

Menjawab tantangan tersebut, pemerintah menghadirkan PP No. 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove sebagai regulasi payung pertama yang mengatur perlindungan dan pemulihan mangrove secara terpadu—baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.

PP yang disahkan pada 5 Juni 2025 ini memperkenalkan terobosan penting. Di antaranya penetapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) berbasis sains, moratorium alih fungsi bakau di area kritis, serta sanksi administratif dan pidana bagi pelanggar.

Lebih dari itu, regulasi ini mendorong kolaborasi lintas sektor. Mulai dari pemerintah pusat, daerah, akademisi, swasta, dan masyarakat lokal—agar pengelolaan mangrove berjalan konsisten dari perencanaan hingga pemantauan.

Meski demikian, implementasi PP 27/2025 di lapangan tidak lepas dari tantangan. Sejumlah kebijakan pemerintah lain masih berpotensi menghambat pelaksanaannya. Sebab, adanya tujuan yang tumpang tindih antara perlindungan lingkungan dan pembangunan ekonomi.

UU Cipta Kerja dan turunannya, misalnya, memprioritaskan percepatan investasi di wilayah pesisir untuk proyek akuakultur, pariwisata, dan infrastruktur, yang kadang mengesampingkan perlindungan ekologis.

Program Tumpang Tindih

Program nasional seperti “Shrimp Estate” juga mendorong ekspansi tambak ke wilayah pesisir yang kerap tumpang tindih dengan ekosistem mangrove. Sementara itu, proyek energi dan infrastruktur skala besar yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) memiliki proses perizinan yang lebih cepat. Sehingga berpotensi melewati penilaian lingkungan ketat.

Ditambah lagi, program rehabilitasi mangrove yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga secara parsial sebelum PP 27/2025 menyebabkan ketidakterpaduan metode restorasi, pemantauan, dan pelaporan. Mengatasi tantangan tersebut membutuhkan harmonisasi kebijakan dan penguatan koordinasi lintas sektor.

BACA JUGA: Bakau Pasir, Spesies Mangrove Kecil yang Kaya Manfaat

Integrasi kawasan perlindungan mangrove ke dalam RTRW serta penegakan NSPK baru akan membantu menyelaraskan prioritas pembangunan dengan perlindungan ekologi.

Target perlindungan mangrove perlu masuk dalam penilaian Proyek Strategis Nasional. Sementara, masyarakat pesisir dan industri lokal perlu didorong melalui insentif ekonomi. Misalnya, skema karbon biru, pembayaran jasa ekosistem, serta pengembangan mata pencaharian berkelanjutan.

Dengan kebijakan yang terintegrasi, partisipasi masyarakat, dan dukungan pendanaan inovatif, PP 27/2025 berpotensi menjadi tonggak penting perlindungan mangrove Indonesia. Ini sekaligus memperkuat komitmen terhadap SDGs serta “Global Target 30×30”, yaitu target ambisius yang bertujuan untuk melindungi setidaknya 30% daratan dan lautan Bumi, sebagai kawasan lindung pada tahun 2030.

 

Tulisan ini merupakan opini dari pengamat lingkungan sekaligus Direktur Belantara Foundation, Dolly Priatna, dalam rangka memperingati Hari Mangrove 2025.

Top