Minyak Jelantah Berpotensi Cemari Air dan Tanah

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Istilah minyak jelantah merujuk pada suatu jenis minyak yang diperoleh dari sisa menggoreng makanan dalam proses memasak. Dengan kata lain, minyak jelantah adalah minyak goreng bekas pakai yang sebenarnya adalah limbah yang mengandung senyawa-senyawa bersifat karsinogenik yang dapat memicu terjadinya kanker. Senyawa karsinogenik ini timbul ketika minyak dipakai atau dipanaskan saat menggoreng.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Safrudin kepada Greeners mengatakan bahwa usaha untuk mengolah kembali minyak jelantah menjadi minyak goreng tidak dimungkinkan sekalipun telah melalui tahapan penyaringan, penjernihan dan distilasi. Karena, minyak bekas pakai adalah jenis limbah yang berbahaya bagi kesehatan manusia, dan jika dibuang secara sembarangan berpotensi menjadi limbah B3 (berbahaya dan beracun).

“Beberapa penyakit yang bisa muncul akibat mengonsumsi minyak bekas pakai ini, antara lain gangguan fungsi ginjal, hipertensi, dan stroke. Sementara dari segi lingkungan, akan menyebabkan minyak jelantah mengkontaminasi tanah dan air serta terakumulasi di badan-badan air terutama kawasan muara,” katanya, Jakarta, Minggu (03/04).

Apabila tidak dikelola dengan baik, kandungan senyawa dengan karakteristik sebagai limbah B3 membuat minyak jelantah berpotensi meracuni ekosistem, mengganggu keseimbangan BOD (biological oxide demand) dan COD (chemical oxide demand) pada badan-badan yang sangat berperan menopang kehidupan biota.

“Laporan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta pernah menyatakan bahwa hanya 3 persen badan air di DKI Jakarta yang memenuhi Baku Mutu Air. Hal ini antara lain dipicu oleh tingginya pencemaran dari minyak jelantah yang dibuang ke saluran air,” tambahnya.

Menurut Ahmad, sebagian besar sektor rumah tangga dan perusahaan pengolah makanan, termasuk warung makan, restoran dan lainnya masih membuang sisa minyak jelantah ke saluran air, sekalipun dalam jumlah kecil (5 cc – 15 cc) terutama yang menempel di penggorengan mereka.

“Namun karena jutaan rumah tangga (pribadi maupun perusahaan), maka akumulasinya menjadi sangat besar, sekitar 5.000 sampai 15.000 liter minyak bekas pakai masuk ke badan air dan mengendap di dasar air, terutama di kawasan muara. Oleh karena itu, Gubernur DKI harus segera membuat peraturan untuk menangani masalah minyak bekas pakai ini,” ujarnya.

Karena cukup berbahaya, ia menyarankan minyak jelantah dapat dikumpulkan dan diolah untuk peruntukan lain yang tidak membahayakan kesehatan masyarakat misalnya untuk bahan bakar nabati (bio-fuel) yaitu biodiesel.

Penulis: Danny Kosasih

Top