Mobil Listrik Geser Biofuel

Reading time: 3 menit
mobil listrik
Mobil listrik. Foto: wikimedia

SÃO PAULO, 5 Januari 2017 – Jumlah mobil listrik di dunia akan mencapai 150 juta atau lebih pada tahun 2040 apabila target untuk mengurangi emisi bisa tercapai. Demikian diungkapkan oleh International Energy Agency. Tidak hanya penurunan permintaan minyak secara drastis, hal tersebut juga berarti penurunan drastis untuk permintaan biofuel seperti etanol.

Namun, industri biofuel tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Dalam perundingan iklim PBB di Maroko, sebuah konsorsium terdiri dari 20 negara meluncurkan Biofuture, sebuah platform yang dirancang untuk mendorong penggunaan biofuel rendah karbon, termasuk generasi kedua dari biofuel terbuat dari tebu. Brasil merupakan penghasil etanol dan biodiesel (AS merupakan terbesar) terbesar kedua di dunia yang memimpin inisiatif tersebut.

Solusi Biofuel

Renato Godinho, kepala dari Divisi Sumber Daya Energetik, Kementerian Luar Negeri Brasil, meredam ide perubahan drastis ke mobil listrik sebelum 2050 dengan mengatakan, “Biofuel merupakan solusi yang cepat. Iklim tidak bisa menunggu.”

Meskipun ada penggantian besar-besaran ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan menjadi model elektrik, para pembela biofuel menyatakan bahwa sektor kargo dan penerbangan akan menggunakan bahan bakar tersebut pada waktu yang lama.

Artur Milanez, manajer dari departemen biofel BNDES, Bank Pembangunan Brasil, mengatakan, “Bahkan jika elektrifikasi terlihat masuk akal saat ini, yang akan menentukan adalah pasar.”

Alasan lainnya adalah biofuel akan memberikan Brasil porsi besar dalam ekonomi yang bisa memantapkan negara tersebut dalam mencapai target Kesepakatan Paris, yaitu mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.

Bensin yang dijual sudah mengandung 25 persen etanol dari tebu. Ada lebih dari 400 pabrik pengolahan tebu di Brasil yang bisa menghasilkan 26,3 miliar liter setiap tahunnya, menurut Asosiasi Industri Tebu Brasil. Brasil sendiri sudah mengembangkan biofuel sejak tahun 1970an akibat terkena dampak dari OPEC oil shock.

Mobil dioperasikan dari etanol yang disubsidi berhasil mengambil alih pasar internal, namun saat harga minyak merosot dan Brasil mulai mengembangkan ladang minyaknya sendiri, bensin kembali mendominasi. Meski demikian, banyak mobil yang diproduksi di Brasil saat ini menggunakan bahan bakar ganda, dikenal sebagai flex.

Etanol dihasilkan melalui fermentasi namun atas hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah, laboratorium menghasilkan etanol generasi kedua. Enzim digunakan untuk memecah selulosa pada ampas tebu (limbah tebu, jagung, dan beras). Produktivitas meningkat hingga 50 persen, menghasilkan 10.000 liter per hektar.

Teknologi baru tersebut telah digunakan oleh industri namun bermasalah pada penggunaan skala besar. Saat teknologi tersebut digunakan, Brasil bisa memproduksi 45 miliar liter setiap tahunnya, menggunakan areal yang sudah ditanami tebu.

“Hal ini setara dengan 50 miliar liter yang dibutuhkan untuk diproduksi pada tahun 2030 apabila ingin mencapai INDC (kontribusi nasional untuk pengurangan emisi yang disampaikan kepada Persetujuan Paris,” jelas Milanez.

Namun, ekspansi tersebut bisa menimbulkan masalah. Konsumer potensial, seperti Jerman, menjadi ragu karena mereka mencemaskan bahwa pemenuhan permintaan berasal dari tebu yang ditanam di hutan Amazon, yang menimbulkan deforestasi atau mengusir petani skala kecil yang menanam pangan, seperti halnya terjadi di Afrika.

Ini menjadi ancaman yang nyata yang dengan mudah bisa dihindari melalui kebijakan pemerintah yang menawarkan insentif untuk menggarap lahan yang sudah terlantar dan terdegradasi akibat peternakan, dan membayar para peternak untuk jasa lingkungan.

Di bawah pemerintahaan saat ini, yang didominasi oleh kepentingan pertanian, anti-lingkungan hidup dan penyangkal perubahan iklim, deforestasi akan sangat mungkin masih tetap terjadi.

Hilangnya Vegetasi

Sebuah studi dari WWF memprediksi hilangnya 10 juta hektar cerrado, padang savanah tropis di Brasil, untuk pertanian pada sepuluh tahun mendatang. Studi tersebut juga memproyeksikan hilangnya 30 persen dari tutupan vegetasi alami di negara bagian Maranhão dan Piaui pada periode yang sama.

Bagian barat Maranhão merupakan area hutan tropis Amazon, sementara Piauí merupakan negara bagian yang besar dan berbatasan dengan area semi-gersang di bagian timur laut.

Cássio Franco Moreira dari WWF menyalahkan Kode Hutan Brasil yang disetujui pada tahun 2012. Kesepakatan tersebut telah membolehkan expansi pertanian di padang savanah, yang juga terdapat sungai-sungai utama termasuk yang mengalir ke Amazon, ketimbang mendorong praktik pertanian berkelanjutan.

Sekali lagi, Brasil mempersembahkan sebuah paradoks. Ia merupakan pemimpin dalam inisiatif biofuel, yang mampu mengurangi emisi karbon. Namun, ia membiarkannya tumbuh di areal yang seharusnya dilindungi. – Climate News Network

Top