Zero Waste Zero Emission Hadapi Tantangan Serius

Reading time: 4 menit
Persoalan sampah di Indonesia menghadapi beragam tantangan. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Berbagai peringatan dan seremoni Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) selama ini nyatanya belum mampu menjawab berbagai persoalan pengelolaan sampah menjadi zero waste. Sampah di Indonesia tidak hanya plastik (anorganik) tetapi juga ada sampah makanan (organik).

Berbagai upaya digenjot pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sampah. Bahkan HPSN 2023 muncul dorongan zero waste zero emission

Indonesia berkomitmen menetapkan target untuk pengurangan sampah sebesar 30 % dan penanganan sampah sebesar 70 % dari total timbulan sampah pada tahun 2025. Teranyar, melalui net zero net emission, Indonesia berkomitmen nol emisi dari sektor sampah maksimal pada tahun 2060.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menegaskan, upaya mewujudkan zero waste zero emission menghadapi tantangan serius. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) 2021, sektor limbah menyumbang emisi gas rumah kaca nasional sebesar 12 %.

Emisi tersebut lebih tinggi dari kontribusi emisi nasional sebelumnya sebesar 7 % atau setara 120.333 Gg CO2e. Kontribusi emisi sektor limbah berasal dari subsektor limbah padat domestik, limbah cair domestik, dan limbah industri.

Timbulan sampah setiap tahun mengalami peningkatan cukup signifikan. Tahun 2021, timbulan sampah mencapai 68,5 juta ton meningkat menjadi 70 juta ton pada tahun 2022. Peningkatan volume sampah menimbulkan kerentanan kondisi TPA yang kelebihan kapasitas.

Pengkampanye Urban Berkeadilan Walhi Abdul Ghofar menyatakan, sebagian besar TPA eksisting kondisinya memprihatinkan. “Belum lagi melihat kondisi TPA di seluruh Indonesia yang 35,46 persen masih open dumping,” kata dia dalam keterangannya.

Ia pesimis visi zero waste zero emission sulit terealisasi jika peran masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis rumah tangga tak dibarengi peran korporasi dan pemerintah.

Pilah Sampah Minim, Produsen pun Masih Pasif

Sementara itu minimnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah, rendahnya tanggung jawab produsen, dan minimnya anggaran pengelolaan sampah daerah hingga solusi semu pengelolaan sampah masih menjadi tugas besar di depan mata.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2021 Provinsi DKI Jakarta menghasilkan sekitar 3,08 juta ton timbulan sampah. Dari jumlah tersebut, jenis sampah terbanyak adalah sisa makanan dengan proporsi mencapai 27,8 %, terbanyak dibanding jenis sampah lainnya.

Studi The Economist Intelligence Unit 1 pada tahun 2016 menyebut, Indonesia menghasilkan sampah makanan sebanyak 300 kilogram per orang per tahun. Jumlah ini mengungguli sampah Amerika Serikat. Adapun AS membuang 277 kilogram.

Laporan Bappenas (2021) menyatakan sebanyak 23 – 48 juta ton sampah makanan di Indonesia terbuang setiap tahun atau setara dengan 115-184 kilogram perkapita per tahun.

Timbulan sampah makanan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 1.702,9 megaton karbon dioksida. Jumlah ini setara dengan 7,29 persen rata-rata emisi GRK Indonesia per tahun.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam menyatakan, saat ini Indonesia masih belum mempunyai target spesifik sampah makanan. “Masih banyak PR dari sektor food loss waste (FLW) yang belum terselesaikan,” ujar dia.

Aktivis NTB suarakan bebas sampah plastik. Foto: Gema Alam NTB

Kesadaran Memilah dan Mengelola Sampah Makanan Minim

Permasalahan sampah makanan kurang menjadi perhatian serius. Padahal, sampah jenis ini sejatinya harus tuntas dari sumbernya. Namun sayangnya pemilahan dan pengelolaan sampah organik (termasuk makanan) masih sangat minim.

Berdasarkan survei yang Greeners lakukan terhadap komunitas mini anak muda di lingkungan Radio Dalam, Jakarta Selatan, memperlihatkan hanya 30 % orang yang memilah sampah.

Sementara hanya 65 % lainnya sudah sadar pentingnya memilah tapi masih sering malas untuk melakukannya. Sedangkan 5 % lainnya tak sadar dan malas untuk memilah.

Menariknya, 30 % orang yang telah memilah tak hanya didasari oleh kesadaran, tapi juga memilah sampah (anorganik seperti botol plastik, kardus) karena bisa menghasilkan uang. Sementara memilah dan mengolah sampah organik seperti sisa makanan, sayur dan buah-buahan kurang menghasilkan keuntungan.

Choirani misalnya, yang memprioritaskan memilah sampah (yang menghasilkan uang) seperti kardus dan sampah botol plastik daripada memilah sampah makanan. “Baru tahu kalau sampah ini menghasilkan gas metan yang berkontribusi terhadap emisi karbon,” imbuhnya.

Senada, Sani menyatakan, kebutuhan memilah tak terlalu penting. Ia menyebut, saat sampah terkumpul di TPA maka antara sampah organik dan anorganik akan menjadi satu. “Jadi saat kita di rumah dan memilah jatuhnya percuma,” kata dia.

Kondisi TPST Bantargebang, Bekasi. Foto: Freepik

Zero Waste Zero Emission Kendalikan Emisi?

KLHK telah menargetkan zero waste zero emission yang berasal dari subsektor sampah. termasuk pengelolaan sampah organik agar tak berkontribusi terhadap emisi karbon. Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati menyatakan, pentingnya pengelolaan sampah organik melalui pengomposan.

“Jika seluruh masyarakat Indonesia melakukan pengomposan sampah organik sisa makanan setiap tahunnya secara mandiri di rumah, maka 10,92 juta ton sampah organik tidak dibawa ke TPA,” katanya dalam Diskusi Pojok Iklim bertema “Kontribusi Pengelolaan Sampah Organik di Sumber terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, baru-baru ini.

Upaya itu lanjutnya dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 6,834 juta ton CO2eq. Ia menegaskan bahwa sampah merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat.

“Sebab memilah dan mengolah sampah organik dari sumber ini sangat penting. Saya harap semua elemen masyarakat terlibat aktif,” tandasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top