RUU Masyarakat Adat Perlu Segera Disahkan

Reading time: 3 menit
Diskusi RUU masyarakat adat. Foto: Kaoem Telapak.
Diskusi RUU masyarakat adat. Foto: Kaoem Telapak.

Jakarta (Greeners) – Payung hukum bagi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Indonesia belum juga terbentuk. Oleh sebab itu, perlu percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) di rapat paripurna, kemudian DPR sahkan menjadi undang-undang.

Sebagai informasi, RUU ini sudah masuk ke dalam program legislasi nasional sejak 2009. Masyarakat adat sangat menanti pengesahan regulasi itu supaya terhindar dari konflik perampasan lahan dan diskriminasi.

Anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah mengatakan, pembahasan RUU Masyarakat Adat sudah selesai di Badan Legislatif DPR sejak 2020. Namun, belum DPR belum membawa RUU tersebut ke sidang paripurna sehingga belum bisa mereka sahkan sebagai RUU inisiatif DPR. Masa persidangan paripurna pun kini tinggal tersisa dua kali sebelum masa jabatan Presiden Joko Widodo berakhir pada Oktober 2024.

BACA JUGA: AMAN: 8,5 Juta Hektare Wilayah Masyarakat Adat Terampas

“Jadi, perlu dikejar dari momen sekarang. Kami minta pemerintah desaklah DPR agar bisa segera membawa ke rapat paripurna,” kata Luluk dalam Diskusi Publik Mengawal Advokasi RUU Masyarakat Adat, Selasa (2/4).

Ia menduga, RUU tersebut masih dianggap menghambat praktik bisnis yang banyak bersinggungan dengan masyarakat adat. Padahal, faktanya tanpa perlindungan hukum terhadap masyarakat adat, diskriminasi dan perampasan wilayah adat akan terus terjadi.

“Karena ada kepentingan ekonomi dari negara seperti memuluskan proyek strategis nasional (PSN), masyarakat adat bisa dikesampingkan. Contohnya, di Rempang yang menjadi model investasi. Namun, saya optimistis RUU ini bisa berhasil walau tidak mudah,” ujarnya.

Berdasarkan catatan AMAN, dalam kurun waktu 2017 sampai 2022, setidaknya terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektar wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga masyarakat adat. Secara umum, konflik yang terjadi di masyarakat adat meliputi sektor perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, dan pembangunan proyek infrastruktur. 

Ilustrasi proses hukum masyarakat adat. Foto: AMAN

Ilustrasi proses hukum masyarakat adat. Foto: AMAN

Masalah Masyarakat Adat Belum Mendesak

Ketua Umum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, Syamsul Alam Agus mengatakan, fakta di persidangan selalu ada alasan dari pihak pemerintah dan DPR bahwa situasi yang terjadi di masyarakat adat ini tidak mendesak.

“Seperti apa situasi yang tidak mendesak? Apakah membatasi hak masyarakat adat untuk hidup, lalu ditangkap dan dikriminalisasi? Apakah itu hak yang bisa dikecualikan? Itulah hal yang mendesak,” kata Alam.  

Sayangnya, belum ada pengesaha RUU Masyarakat Adat sampai saat ini. Lain halnya ketika pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja dalam waktu singkat. Aturan tersebut justru mengancam akan merampas hutan adat milik masyarakat adat.

Ia menambahkan, undang-undang pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini belum terbentuk. Pasal itu berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang aturannya ada dalam undang-undang.”

BACA JUGA: 10 Hak Masyarakat Adat Terampas Akibat Proyek di Rempang

Namun, lanjut Alam, karena adanya kebutuhan yang mendesak, justru banyak peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum UU terbentuk.

“Ini menegaskan bahwa pemerintah (eksekutif) menyadari pengakuan masyarakat adat mereka atur dengan UU. Namun, ibarat pepatah ‘tak ada akar, rotan pun jadi’, ada pemaksaan pengakuan masyarakat adat dengan peraturan di bawah level undang-undang,” imbuh Alam.

Alam menegaskan bahwa penyelenggara negara seharusnya menindaklanjuti setiap permohonan warga. Sehingga, dapat tercipta kepastian hukum dan keadilan serta tidak menimbulkan kerugian.

Perlu Pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat

Alam menekankan bahwa dalam upaya pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat yang diamanatkan konstitusi adalah melalui disahkannya Undang-Undang. Bukan surat edaran, surat keputusan bupati, ataupun peraturan daerah.

Dia memberikan contoh yang terjadi di lapangan, pengalaman Mikael Ane, masyarakat adat dari Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Mikael Ane menerima vonis satu tahun enam bulan kurungan karena menempati dan mengelola tanah adatnya. Negara mengklaim tanah tersebut sebagai  Taman  Wisata Alam Ruteng.

“Padahal, wilayah Ruteng sudah ada peraturan daerah yang mengakui eksistensi masyarakat adat. Kriminalisasi Mikael Ane menggunakan Undang-Undang Kehutanan. Jadi, perda saja tidak cukup,” ungkap Alam.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top