Normalisasi Ciliwung Perlu Perhatikan Fungsi Ekologis Sungai

Reading time: 2 menit
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Masalah banjir di Ibukota merupakan hal yang klasik dan telah terjadi sejak Jakarta masih bernama Batavia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah melalui beberapa badan terkait telah melakukan berbagai upaya seperti proyek normalisasi Sungai Ciliwung yang menggunakan beton padat sebagai bahan bakunya.

Namun, Koordinator Ciliwung Institute, Sudirman Asun, menganggap bahwa proyek tersebut justru hanya akan menambah parah banjir di wilayah Jakarta Pusat dan Utara. Menurutnya dengan pembangunan beton-beton tersebut, air akan lebih deras mengalir ke hilir.

Sudirman mengungkapkan bahwa penanganan banjir tidak bisa dilakukan dengan kebijakan temporal atas dasar kepanikan sesaat, kemudian melupakan persoalan yang ada beserta upaya penyelesaiannya setelah bencana banjir sudah lewat.

“Pemulihan sungai di luar negeri itu sudah mengarah ke restorasi (beton dibongkar dan mengembalikan sungai ke kondisi alamiah), itulah normalnya atau alaminya kondisi sungai. Bukan normalisasi versi teknokrat dengan turap beton, sebuah kondisi sungai yang sangat tidak normal,” jelas Sudirman saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Rabu (01/10).

Pekerja memasang pancang-pancang beton di pinggir Sungai Ciliwung, Rabu (01/10). Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Pekerja memasang pancang-pancang beton di pinggir Sungai Ciliwung, Rabu (01/10). Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah harus dilakukan secara terencana dan untuk jangka panjang dalam sebuah master plan . Rencana inti tersebut dirancang secara komprehensif dan terpadu antar kementerian dan berintegrasi dengan pemerintah daerah di sepanjang daerah aliran sungai atau DAS Ciliwung. Penerapan rencana ini nantinya akan lintas sektoral dan struktural, termasuk dalam hal pengawasan dan penegakan aturan hukum.

Pemerintah, lanjut Sudirman, harus memperhatikan juga keberlangsungan hutan di hulu Ciliwung dan catchment area (daerah tangkapan air), serta Daerah Aliran Sungai (DAS) karena sungai dengan bentuk alamiah mempunyai fungsi ekologi sebagai resapan air, menstabilkan kecepatan arus sungai, filtrasi pencemar dan sedimen, vegetasi riparian, serta sebagai habitat ekosistem keanekaragaman hayati seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai.

Sungai, lanjutnya, hanyalah indikator. Badan sungai sebagai permukaan tanah terendah (Jakarta) hanyalah penerima akibat dampak diatasnya. Cakupan luas yang harus diperbaiki adalah DAS (Watershed). DAS harus diperbaiki menyeluruh dan komprehensif sehingga air hujan dari permukaan yang turun ke sungai dapat dikurangi secara signifikan dan terserap ke tanah dan pohon oleh ruang terbuka hijau maupun penampungan air situ/waduk.

Penguatan bantaran juga dapat dilakukan dengan pendekatan bio-engineering, misalnya dengan beronjong (perkuatan tebing dengan kawat berisi batu batu kali) dan penanaman pohon di sempadan sungai seperti yang direkomendasikan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai.

“Itu DAS-nya dibanyakin, Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Birunya juga diperhatikan, di luar negeri betonisasi sudah dilarang,” katanya.

(G09)

Top