Pelibatan Gen Z dalam Kebijakan Iklim Masih Minim dan Bersifat Tokenisme

Reading time: 3 menit
Pelibatan gen Z dalam kebijakan iklim masih minim. Foto: Climate Rangers Jakarta
Pelibatan gen Z dalam kebijakan iklim masih minim. Foto: Climate Rangers Jakarta

Jakarta (Greeners) – Generasi Z mengakui bahwa pelibatan orang muda oleh pemerintah dalam kebijakan iklim masih bersifat tokenisme. Hal ini terungkap dalam laporan berjudul “Persepsi Gen Z Jakarta terhadap Keadilan Iklim” oleh Climate Rangers Jakarta pada Februari 2025.

Dwi Tamara, penulis laporan ini, menjelaskan bahwa laporan ini telah melibatkan 382 responden dari Generasi Z di Jakarta. Sebanyak 62,4% responden merasa pelibatan orang muda dalam kebijakan iklim masih bersifat tokenisme, praktik di mana ada partisipasi tanpa pengaruh signifikan. Orang muda hanya terlibat sebagai simbol tanpa kontrol nyata dalam pengambilan keputusan.

“Penting adanya partisipasi bermakna orang muda dalam pengambilan keputusan, karena kami adalah kelompok yang rentan terhadap krisis iklim,” kata Tamara di Jakarta, Selasa (28/2).

Tamara menekankan bahwa meskipun ada pelibatan generasi muda, aspirasi mereka belum jadi bahan pertimbangan secara penuh. Bahkan, ketika suara mereka ditolak, tidak ada penjelasan yang jelas mengapa itu terjadi.

“Generasi muda penting untuk melakukan advokasi dan kampanye. Kami perlu evaluasi terhadap advokasi atau kampanye kami, dan juga adanya transparansi dalam keputusan,” ujarnya.

BACA JUGA: Indonesia Perlu Segera Menyusun RUU Perubahan Iklim

Dalam konteks partisipasi, Tamara menjelaskan bahwa ada berbagai tingkat pengaruh yang dapat tercapai berdasarkan ladder of citizen participation (tangga partisipasi warga negara). Mulai dari non-partisipasi, tokenisme, hingga kontrol masyarakat.

Hasil temuan laporan menunjukkan bahwa meskipun pelibatan generasi muda belum maksimal dan sebagian besar menganggapnya sebagai tokenisme, setidaknya ini lebih baik daripada non-participation.

β€œMeskipun hasilnya tidak terlalu buruk, karena yang paling buruk adalah tidak ada partisipasi sama sekali. Temuan ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk lebih melibatkan generasi muda dalam perencanaan kebijakan iklim di masa depan,” ujar Tamara.

Peluncuran laporan mengenai pelibatan gen Z dalam kebijakan iklim. Foto: Dini Jembar Wardani

Diskusi laporan mengenai pelibatan gen Z dalam kebijakan iklim. Foto: Dini Jembar Wardani

Familiar dengan Perubahan Iklim

Laporan ini juga menunjukkan bahwa 98,4% responden sudah familiar dengan istilah perubahan iklim. Namun, masih terdapat kesenjangan pemahaman mengenai penyebab utama krisis ini.

Sebanyak 37,7% responden percaya bahwa penyebab perubahan iklim adalah siklus alam. Sementara itu, hanya 48,4% yang memahami bahwa faktor manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil, merupakan penyebab utama.

Laporan ini juga mengungkap bahwa 99,5% responden telah merasakan dampak perubahan iklim, terutama dalam bentuk cuaca ekstrem. Namun, meskipun mereka merasakan dampaknya, sebagian besar Generasi Z menilai bahwa upaya pemerintah dalam menangani perubahan iklim masih belum cukup.

BACA JUGA: LIPI Dorong Kebijakan Inklusif Perubahan Iklim untuk Masyarakat Pesisir

Hasil studi juga menunjukkan bahwa hampir seluruh responden menegaskan pentingnya aspek keadilan dalam upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim. Stanislaus Demokrasi, salah satu penulis laporan ini mengatakan bahwa pemerintah masih belum berupaya melaksanakan aksi iklim yang ambisius dan berkeadilan. Padahal, dampak perubahan iklim semakin nyata dirasakan oleh orang muda.

“Sebagai contoh, orang muda pesisir kehilangan waktu belajar. Sebab, banjir yang sering melanda wilayah mereka atau orang muda dengan penyandang disabilitas sering kali tidak dilibatkan dalam kebijakan dan aksi iklim oleh pemerintah,” ujar Stanislaus.

Dasar untuk Advokasi

Research Intern di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Saffanah Rezky mengatakan, laporan ini bisa menjadi dasar untuk advokasi ke depan. Khususnya untuk memperjuangkan kebijakan yang lebih inklusif, terutama bagi generasi muda.Β 

Ia juga memberikan catatan penting terkait laporan ini. Pertama, masih ada permasalahan kesenjangan pemahaman tentang perubahan iklim. Meskipun 98,4% responden sudah mendengar tentang perubahan iklim, masih ada miskonsepsi mengenai penyebabnya. Sebanyak 37,7% responden menganggap perubahan iklim sebagai fenomena siklus alam, sementara 64,7% masih mendefinisikan perubahan iklim hanya sebagai perubahan cuaca.

Menurutnya, angka-angka ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam edukasi mengenai perubahan iklim serta kebijakan yang belum merata. Ini juga menunjukkan adanya masalah struktural dalam edukasi lingkungan dan kebijakan publik.

“Miskonsepsi ini, selain sebagai ketidaktahuan, berpotensi menimbulkan masalah lebih lanjut, seperti minimnya partisipasi publik dalam mendukung kebijakan iklim. Jika masyarakat tidak paham tentang perubahan iklim, mereka tidak akan mendukung kebijakan terkait,” ujar Shaffanah.

Di samping itu, Koordinator Climate Rangers Jakarta, Ginanjar Ariyasuta juga menegaskan bahwa orang muda akan menjadi generasi yang paling merasakan dampak krisis iklim. Oleh karena itu, keterlibatan mereka dalam kebijakan dan aksi iklim bukan hanya sekadar hak. Hal ini merupakan kebutuhan yang mendesak untuk memastikan keberlanjutan hidup di masa depan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top