LIPI Dorong Pendidikan Bencana untuk Mengurangi Risiko Bencana

Reading time: 2 menit
pendidikan bencana
Gunung Anak Krakatau. Foto: KKP

Jakarta (Greeners) – Pasca kejadian tsunami di Selat Sunda pada Sabtu (22/12) lalu, Presiden Joko Widodo meminta agar pendidikan bencana masuk dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan juga mendorong adanya mitigasi dan pendidikan bencana untuk pengurangan risiko bencana. Kondisi geografis menjadikan Indonesia berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor.

Saat dihubungi oleh Greeners, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Jogaswara mengatakan bahwa pengelolaan bencana harus berbasis struktural dan non struktural. Struktural antara lain dipasangnya teknologi peringatan dini, alat pendeteksi bencana, dan dibangunnya tembok di sekitar wilayah pesisir pantai. Sedangkan, non struktural merupakan suatu pendidikan kebencanaan yang memberikan pertolongan pertama kali saat bencana itu terjadi.

“Jadi masyarakat Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana harus diedukasi dan diberikan materi yang berkaitan dengan bencana-bencana yang sangat berpotensi di wilayah mereka. Pendidikan bencana ini juga sifatnya kontekstual dan harus selalu diperbarui. Sesuai pengalaman saya yang meneliti, ada masyarakat di Mentawai merasa dibohongi karena mereka diajarkan jika terjadi tsunami itu tanda-tandanya ada gempa bumi yang sangat kuat, namun nyatanya kan tidak,” ujar Herry, Kamis (27/12/2018).

BACA JUGA: Pasca Tsunami di Selat Sunda, Aktivitas Gunung Anak Krakatau Tetap Tinggi 

Menurut Herry, informasi tentang bencana perlu terus diperbarui dan perlu untuk terus melatih kesiapan menghadapi bencana. Dukungan pendidikan bencana juga telah diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo kepada jajaran terkait untuk memasukkan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum pendidikan. Upaya ini dilakukan agar masyarakat mendapatkan pengetahuan sejak dini terkait kebencanaan sehingga dapat meminimalisir jumlah korban.

“Setiap kejadian bencana selalu memberikan kita pelajaran-pelajaran baru yang penting. Instruksi Presiden adalah momentum tepat karena kecenderungan masyarakat kita cenderung cepat melupakan bencana,” ujar Herry.

Herry yang telah melakukan penelitian di Jambi menyoroti isu kebakaran hutan dan banjir. Ia menemukan fakta bahwa upaya mitigasi bencana masih terbatas. Rumah-rumah penduduk desa yang umumnya bertiang dan terbuat dari papan kayu relatif aman terhadap banjir, tetapi tidak mampu melindungi dari asap kebakaran hutan dan lahan.

“Penduduk belum memahami konsep safe house yang aman saat bencana banjir dan kebakaran hutan. Padahal ini sangat dibutuhkan, terutama oleh kelompok rentan seperti bayi dan balita, anak-anak dan lansia,” kata Herry.

BACA JUGA: BPPT Kembali Ingatkan Pentingnya Alat Deteksi Tsunami 

Herry melanjutkan, di Provinsi Jambi perlu ada upaya mitigasi struktural secara optimal misalnya dalam perbaikan tanggul penahan banjir. Serta, integrasi program dan kegiatan pembentukan berbagai kelembagaan masyarakat untuk mencapai tujuan pengurangan risiko bencana.

Sementara di Surabaya dan Medan, hasil penelitian menyatakan ancaman banjir karena faktor curah hujan dan perubahan lingkungan terutama penggunaan lahan yang tidak terkontrol akibat pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi.

“Kedua kota ini berada di wilayah pesisir dan sekaligus merupakan daerah hilir dari aliran sungai besar yang mengakibatkan risiko tinggi terhadap banjir. Kejadian banjir semakin meningkat dengan cakupan wilayah terdampak yang semakin luas,” jelasnya.

Hasil studi menunjukkan penduduk menghadapi risiko banjir yang bervariasi, yang dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap bencana tersebut. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor subjektif, seperti kondisi demografi, sosial, ekonomi, budaya dan kepercayaan.

Penulis: Dewi Purningsih

Top