Selamatkan Lahan Gambut, Proyek Food Estate Perlu Dievaluasi

Reading time: 3 menit
Evaluasi proyek food estate pada ekosistem gambut penting untuk mencegah kerusakan lahan yang lebih parah. Foto: Pantau Gambut
Evaluasi proyek food estate pada ekosistem gambut penting untuk mencegah kerusakan lahan yang lebih parah. Foto: Pantau Gambut

Jakarta (Greeners) – Evaluasi proyek food estate pada ekosistem gambut penting untuk mencegah kerusakan lahan yang lebih parah. Pengabaian ekosistem gambut dan minimnya pelibatan petani sebagai produsen pangan juga akan berdampak pada hasil panen yang tidak maksimal.

Menurut Pantau Gambut, pemerintah kerap menerabas batasan daya dukung lingkungan. Pantau Gambut mencatat adanya deforestasi seluas 700 hektare di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Pembukaan lahan yang mengatasnamakan solusi krisis pangan ini membuat ekosistem gambut menjadi berisiko semakin terdegradasi. Belum lagi peringatan FAO tentang El Nino yang dikeluarkan Februari 2023 yang memprediksi adanya risiko kegagalan panen.

BACA JUGA: Proyek Food Estate Gagal dan Hanya Untungkan Korporasi

Hal ini merujuk pada pengalaman 2019 ketika penurunan curah hujan berdampak pada hasil panen. Kajian Pantau Gambut pun menemukan adanya perbedaan yang signifikan antara hasil panen padi yang ditanam di lahan gambut, dengan padi yang ditanam di lahan mineral.

“Pelibatan petani sebagai subjek produsen pangan juga menjadi poin krusial karena pemenuhan pangan tidak bisa
bersandar pada mekanisme pasar yang dikendalikan oleh industri pangan monokultur skala besar,” ungkap Juru Kampanye Pantau Gambut, Abil Salsabila dalam siaran pers.

Petani Didorong Modifikasi Hasil Lahan

Semboyan gemah ripah loh jinawi muncul untuk menggambarkan begitu suburnya tanah serta makmurnya masyarakat di Indonesia. Namun, penggambaran tersebut makin kabur. Sebab, petani yang seharusnya menjadi subjek utama kedaulatan pangan malah terus didorong untuk mengkomodifikasikan hasil lahannya secara besar-besaran.

Pemerintah pun seolah mengingkari UUPA 1960 (UU Pokok-pokok Agraria) karena memaksakan pelaksanaan program pangan seperti food estate di berbagai wilayah di Indonesia. Ikatan antara masyarakat dengan tanah mereka pun banyak yang akhirnya dipisahkan oleh program yang dinarasikan sebagai solusi krisis pangan ini.

Hari Tani Nasional (HTN) yang sejatinya menjadi momen apresiasi perjuangan golongan
petani di Indonesia, akhirnya hanya menjadi seremoni tahunan.

BACA JUGA: Food Estate Gagal Atasi Krisis Pangan Perburuk Krisis Iklim

Sementara itu, saat Pantau Gambut mencatat kegagalan hasil panen padi food estate Kalimantan Tengah, data
dari Bulog per 22 September 2023 malah menyebutkan realisasi impor beras yang mencapai 1.028.478 ton dari rencana impor 2 juta ton.

“Kebijakan pemerintah terkait rencana impor 2 juta ton ini jelas bertolak belakang dengan jaminan kedaulatan pangan oleh negara yang ada dalam UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kebijakan pelaksanaan program seperti food estate ini pada akhirnya tidak tepat,” ungkap Abil.

Pantau Gambut Sorot Kegagalan Food Estate

Dalam studinya pada Maret 2023, Pantau Gambut telah menyoroti empat poin kegagalan dari proyek food estate di Kalimantan Tengah. Pelaksanaan studi ini di enam lokasi yang berbeda.

Hal pertama yang Pantau Gambut temukan yakni tenggelamnya eskavator di tanah gambut. Ketika melakukan pengecekan melalui citra satelit di Desa Mantai Hulu, lahan hutan seluas ±237 hektare di sekitar titik verifikasi lokasi ekstensifikasi sudah mengalami pembukaan lahan.

Pada lokasi yang sama, tim juga mendapati alat berat eskavator yang tenggelam ke dalam tanah gambut yang ada di sekitar area ekstensifikasi. Itu karena karakteristik tanah gambut yang tidak mampu menopang berat eskavator.

Kemudian, di Desa Tewai Baru, hasil panen umbi singkong berukuran kecil menyerupai wortel, berwarna kuning seperti kunyit, dan rasanya pahit. Menurut sebuah penelitian, rasa pahit pada singkong mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi.

Bergeser ke Desa Henda dan Desa Pilang, di sana petani tidak dapat memanfaatkan bantuan pipa buka-tutup air. Sebab, pembuatan pipa tidak menyertakan biaya perawatan dan penyuluhan cara penggunaannya. Sehingga, petani kesulitan menggunakan alat tersebut.

Terakhir, rencana pelaksanaan food estate tahap I tahun 2020-2021 di Kalimantan Tengah seluas 31.000 hektar. Masing-masing seluas 10.000 hektar di tiga Kabupaten, yaitu Pulang Pisau, Kapuas dan Gunung Mas.

Hasil pemantauan melalui citra satelit menunjukan adanya deforestasi. Area seluas 700 hektare di Desa Tewai Baru menjadi area ekstensifikasi terluas.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top