Penegakan Aturan EPR Harus Segera Dijalankan

Reading time: 3 menit
epr
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Akar utama permasalahan dari pencemaran sampah plastik saat ini adalah dominannya kebijakan dan pola pikir pragmatis, gaya hidup instan dan budaya ‘buang jauh’ yang tidak bertanggungjawab, serta perilaku produsen yang mengoptimalkan keuntungan semata dengan meninggalkan sebagian besar tanggungjawabnya.

Luthfi Rofiana, Ketua Tim Riset Relawan Greenpeace Indonesia mengatakan, lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah semula diharapkan dapat menjadi acuan kebijakan yang mempercepat efektifitas penanganan pengelolaan sampah secara nasional serta di tingkat pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten).

Semangat mendasar dari UU No. 18/2008, katanya, adalah mengedepankan strategi pengurangan timbulan sampah dan penanganan sampah yang sulit terurai oleh alam, seperti plastik, dengan mengamanatkan secara substantif pentingnya perluasan tanggungjawab produsen (Extended Producers Responsibility/EPR). Hanya saja, sangat disayangkan, hingga kini penegakan aturan EPR tersebut jalan di tempat padahal dalam Pasal 15 UU No. 18/2008 tertulis “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.”

“Dari hasil audit sampah plastik yang kami lakukan di Pulau Bokor, Kepulauan Seribu dan di lima kota lainnya yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarang, Padang dan Pekanbaru menunjukkan bahwa kategori sampah plastik termasuk kemasan dan botol plastik masih mendominasi. Merek-merek yang paling banyak ditemukan di Pulau Bokor sendiri banyak dari perusahaan berikut, yaitu Unilever, Wings, Indofood, Danone dan Orang Tua,” terang Luthfi, Jakarta, Senin (09/10).

BACA JUGA: Penyelesaian Sampah di Laut Diharapkan Fokus pada Pencegahan

Dengan adanya fenomena ini, sangat penting bagi produsen untuk segera mengambil tindakan bertanggung jawab atas sampah pasca konsumsi dari produk mereka. Salah satu caranya adalah dengan mendesain ulang kemasan sehingga memiliki nilai daur ulang yang tinggi dan juga menarik kembali kemasan-kemasan pasca konsumsi untuk dilakukan daur ulang.

Menurut Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Rahyang Nusantara, selain produsen, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian, juga harus mendorong dunia usaha untuk melakukan perubahan tersebut. Berjalannya dunia usaha perlu diiringi dengan upaya melindungi lingkungan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Lingkungan yang rusak pasti juga akan berdampak pada dunia usaha.

“Pemerintah sebagai pengambil kebijakan menjadi faktor penentu untuk mengendalikan pencemaran plastik dan menciptakan sistem konsumsi yang bertanggung jawab,” tambahnya.

epr

Sumber: Greenpeace

Arifsyah Nasution, Juru kampanye Laut Greenpeace Indonesia menambahkan, penegakan aturan dan penguatan regulasi yang sudah ada menjadi sangat penting, seiring juga terus meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengurangi konsumsi plastik. Kesadaran masyarakat ini sendiri bisa dilakukan melalui beberapa tindakan dan kebiasaan sederhana seperti membawa tas belanja, botol air minum (tumbler) dan wadah makanan sendiri dalam rutinitas sehari-hari.

“Kita bisa membawa wadah makan atau botol minum sendiri saat berbelanja, ke sekolah, kampus, tempat kerja ataupun ketika berwisata dan bepergian ke luar kota. Itu saja sudah bisa mengubah kebiasaan yang membantu kita untuk berkontribusi mengurangi penggunaan produk yang menghasilkan sampah,” tutupnya.

BACA JUGA: Perlunya Keselarasan Semua Pihak Dalam Sistem Pengelolaan Sampah

Sebagai informasi, Greenpeace Indonesia bersama dengan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) hari ini menyampaikan hasil audit sampah plastik dari berbagai lokasi di Indonesia, diantaranya hasil bersih pantai pada pertengahan September lalu di Pulau Bokor, Kepulauan Seribu, Jakarta. Kegiatan bersih pantai tersebut merupakan bagian dari gerakan global #BreakFreeFromPlastic dan bertujuan untuk memberikan penyadartahuan kepada masyarakat mengenai dampak nyata dari konsumsi berlebih plastik dan kemasan sekali buang.

Saat ini, sekitar 6.500 sampai dengan 7.000 ton sampah per hari dihasilkan di Jakarta atau kira-kira hampir setara 4 persen dari total timbulan sampah secara nasional atau sekitar 178.082,19 ton per hari. Data yang dipublikasikan oleh Pemerintah DKI Jakarta tahun 2016 menunjukkan komposisi sampah pada tahun 2005 hingga 2011 di Jakarta sebesar 13,25 persen adalah plastik.

Penulis: Danny Kosasih

Top