World Wildlife Day 2021: Menilik Realitas Masyarakat Adat Tanah Air

Reading time: 3 menit
Masyarakat Adat
World Wildlife Day 2021: Menilik Realitas Masyarakat Adat Tanah Air. Ilustrasi: Ist.

Peran penting masyarakat adat dalam menjaga kelestarian hutan mulai mengemuka seiring dampak kerusakan iklim yang kian nyata. Di Tanah Air, kehadiran ragam masyarakat adat dan luasnya hamparan hutan semestinya memungkinkan jalinan yang kuat. Sayangnya, banyak masyarakat adat yang belum leluasa dalam mengelola hutan maupun wilayah adat yang telah mereka diami sejak puluhan, bahkan ratusan tahun.

Jakarta (Greeners) – Deputi Kebijakan Iklim dan Lingkungan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mina Susana Setra, mengatakan hutan bagi masyarakat adat adalah nyawa. Selain menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharian, hutan bagi masyarakat adat juga merupakan penghubung dengan para leluhur. 

Mina menyebut kehilangan hutan bagi masyarakat adat sama saja dengan kehilangan identitas. Untuk itulah masyarakat berani mati-matian mempertahankan hutan dan wilayah adat yang telah mereka tinggali sejak lama.

“Makanya kita menyebut masyarakat adat the guardian of the forest. Itu (hutan) mereka jaga sebagai titipan dari leluhur untuk generasi mendatang. Ketika hak-hak mereka dilindungi, bisa lebih besar lagi kontribusi dalam menjaga mengelola hutan dan wilayah adat,” ujar Mina kepada Greeners melalui sambungan konferensi video, Kamis, (4/3/2021).

Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat: Bukti Minimnya Pengakuan

Mina menekankan perlindungan terhadap masyarakat adat di Indonesia dalam menjaga hutan masih minim.

Alih-alih melindungi, masyarakat adat di Bumi Pertiwi malah kerap mendapat kriminalisasi ketika mempertahankan kelestarian hutan dari ancaman program pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan.

AMAN mencatat selama tahun 2020 ada 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat.

Melihat rekam jejak kriminalisasi ini, Mina menyebut pengakuan bagi masyarakat adat sangat penting. Pengakuan ini, lanjutnya, selaiknya tidak hanya mencakup hak atas hutan dan wilayah adat, melainkan juga mendengar masukan mereka dalam program pembangunan.

Dengan begitu, hemat Mina, pembangunan di kawasan hutan dan wilayah masyarakat adat menjadi program semua pihak.

“Masyarakat adat tidak semua menutup diri luar. Ada juga masyarakat yang ingin pembangunan infrastruktur dan fasilitas layan umum. Hanya saja, mereka tidak pernah terlibat. Yang datang justru malah pembangunan perkebunan sawit dan tambang yang itu mengancam lingkungan dan tidak memberi apapun bagi mereka,” tegasnya.

Masyarakat Adat

Perlindungan terhadap masyarakat adat di Indonesia dalam menjaga hutan masih minim. Ilustrasi: shutterstock

Masyarakat Adat Buktikan Kemapanan dalam Kelola Hutan

Mina menyebut AMAN saat ini beranggotakan 2.428 suku adat dengan jumlah 19 juta jiwa. Walaupun terdengar banyak, namun sebenarnya masih banyak suku adat yang belum tergabung dalam AMAN.

Dia pun meyakini setiap masyarakat adat memiliki kemampuan mengelola hutan. Dia menyebut tantangannya adalah dari sisi pemangku kebijakan yaitu pemerintah.

Menurutnya, kebijakan dan program pemerintah kerap bertolak belakang dengan peran masyarakat adat yang menjaga kelestarian hutan.

Hal tersebut tercermin dari adanya Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan program Food Estate yang semakin mengancam kehidupan hutan dan masyarakat adat.

Di sisi lain, luas hutan dan wilayah adat yang menjadi milik masyarakat adat jumlahnya masih sedikit. Kalaupun ada penyerahan hak tersebut, prosesnya masih lamban.

AMAN mencatat wilayah adat di Indonesia mencapai lebih dari 10 juta hektar. Akan tetapi, per hari ini, yang baru resmi menjadi wilayah adat hanya seluas 70.000 hektar.

“Kalau kekhawatirannya masyarakat merusak, yang selama ini mengeksploitasi siapa? Bisa dibuat peraturan bersama kalau pengelolaan itu tidak boleh merusak. Bisa dibuat kesepakatan. Tidak masalah,” katanya.

Perempuan Adat Tuntut Inklusivitas dalam Penerapan Nilai Ekonomi Karbon

Setiap masyarakat adat memiliki kemampuan mengelola hutan. Foto: Shutterstock.

Masyarakat Adat Berharap Kearifan Lokal jadi Pedoman Pembangunan

Secara terpisah, perwakilan Masyarakat Adat Sungai Utik, Kalimantan Barat, Herkulanus Sutomo Manna, berharap kearifan lokal jadi pedoman pemerintah maupun pihak swasta dalam program pembangunan dan pengelolaan hutan.

Menurutnya, banyak sekali potensi masyarakat adat yang bisa tergali. Bukan sekadar untuk menjaga kelestarian hutan, tapi juga kebutuhan sehari-hari.

Dia mencontohkan masyarakat adat Sungai Utik yang memperlakukan hutan sebagai ayah, tanah sebagai ibu, dan air sebagai darah.

Hal ini kurang lebih sama dan juga diyakini masyarakat adat lain. Filosofi tersebut bisa menjadi dasar bagi pihak lain terutama pemerintah dan swasta dalam menjalankan programnya.

“Dalam kondisi sekarang tidak sulit mencari bahan bangunan, bahan obat-obatan, bahan konsumsi sebab orang dayak itu ada dia meramu. Jadi jenis-jenis tanaman dan tumbuhan banyak yang bisa dikonsumsi sebagai makanan,” imbuhnya.

Dia berharap tidak ada lagi pandangan hutan dari sisi ekonomi semata. Menurutnya, memandang hutan harus juga dari sisi sosial maupun adat dan budaya. 

“Tanpa hutan, buat orang iban, adat dan budaya akan hilang. Kalau alam rusak, bisa merusak kita. Itu sudah banyak contoh bencana di mana-mana sebab kita tidak ramah dengan lingkungan. Tanpa kita sadari dia merusak kita sekarang,” pungkasnya.

Penulis: Muhamad Ma’rup

Top