LIPI Sarankan Pemerintah Membuat Provinsi Peringatan Dini

Reading time: 2 menit
provinsi peringatan dini
Dari kiri ke kanan: Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto, Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Adrin Tohari, Peneliti Pusat Penelitian Fisika LIPI Bambang Widiyatmoko, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Deny Hidayati. Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Menyangkut persoalan pengurangan risiko bencana, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Kepala Pusat Penelitian Fisika, Eko Yulianto menyarankan untuk membuat Provinsi Peringatan Dini dan mengatur tata ruang wilayah pantai di Indonesia. Luas wilayah Indonesia yang sangat besar dan lead time tsunami menjadi alasan untuk tidak hanya mengandalkan sistem peringatan dini.

“Aspek penting jika berbicara pengurangan risiko bencana adalah masalah persoalan tata ruang yang tidak dijaga, padahal kita memiliki aturan Perpres No 51/2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Namun, peraturan tersebut tidak ditaati sama sekali. Walaupun kita memiliki peringatan dini sebaik apapun kalau tata ruang itu tidak dibenahi maka tidak akan banyak membantu menyelamatkan korban jiwa,” ujar Eko dalam media briefing Pengurangan Risiko Bencana Melalui Teknologi dan Pendidikan Siaga Bencana di Media Center LIPI, Jakarta, Rabu (02/01/2019).

Dalam Perpres tersebut dijelaskan sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai. Sempadan pantai minimal seratus meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Menurut Perpres ini, Pemerintah Daerah Provinsi yang mempunyai sempadan pantai wajib menetapkan arahan batas sempadan pantainya dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Adapun penetapan batas sempadan pantai untuk daerah rawan bencana di wilayah pesisir dapat dilakukan kurang dari hasil penghitungan dengan ketentuan wajib menerapkan pedoman bangunan (building code) bencana.

BACA JUGA: 2.564 Kejadian Bencana Alam Terjadi di Indonesia Sepanjang Tahun 2018 

Eko mengatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus membuat tata ruang berbasis risiko bencana. Hal ini dikarenakan adanya pembangunan yang berada di daerah rawan bencana. Seperti contohnya bangunan cottage di Lembang, Bandung yang pembangunannya tepat berada di sesar Lembang.

“Kita tidak bisa menyalahkan perusahaan dari cottage tersebut karena mereka bisa membangun di situ pasti karena mendapatkan izin dari Pemda setempat. Posisi pembangunannya tepat sekali berada di sesar Lembang yang pernah saya teliti beberapa waktu lalu dimana 500 tahun lalu pernah terjadi likuifaksi seperti yang terjadi di Palu,” jelas Eko.

BACA JUGA: BPPT: Perbaikan 3 Buoy di Selat Sunda Butuh Rp15 Miliar 

Selain itu, Eko juga menyarankan untuk membuat Provinsi Peringatan Dini dikarenakan banyak wilayah-wilayah di Indonesia memiliki lead time tsunami pendek yang rata-rata hanya kurang dari 10 menit. Akan sangat berisiko jika hanya mengandalkan sistem peringatan dini.

“Harus diklasifikasikan daerah mana yang masuk di Provinsi Peringatan Dini. Contohnya seperti daerah Pantai Utara, Bali, Lombok, Mentawai yang memiliki lead time tsunami pendek harus masuk di Provinsi Peringatan Dini dan menempatkan sistem peringatan dini banyak di sana dan perlu diperhatikan tata ruangnya. Sedangkan daerah seperti selatan Jawa yang memiliki lead time tsunami panjang (40 menit) tidak terlalu masalah jika sistem peringatan dininya tidak banyak,” kata Eko.

Eko juga mengatakan bahwa di wilayah dengan lead time tsunami pendek, evakuasi mandiri berbasis guncangan gempa harus dijadikan standar penyelamatan diri dari ancaman tsunami. Dengan demikian, informasi tentang wilayah dengan lead time tsunami pendek adalah hal mendasar yang harus ada di dalam materi pendidikan publik terhadap ancaman tsunami.

Penulis: Dewi Purningsih

Top