Pengobatan Penyakit karena Pencemaran Udara Capai Rp 38,5 Triliun

Reading time: 2 menit
Pencemaran udara memberi dampak buruk bagi kesehatan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Pencemaran udara di Jakarta dan daerah penyangganya, masih terus terjadi. Medical report rumah sakit di Jakarta tahun 2010 menyebut penyakit terkait pernapasan karena polusi udara berkontribusi 60 persen dari semua penyakit. Biaya perawatan pengobatan mencapai Rp 38,5 triliun.

Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Budi Haryanto mengatakan, ambang batas yang WHO tetapkan mengacu pada dampak kesehatan dari setiap parameter pencemaran udara.

Misalnya peningkatan konsentrasi 25 mikrogram/m3 pada PM2.5 di Amerika Serikat yang dapat menyebabkan kematian pada usia produktif. “Sebanyak 17 persen angka kematian prematur terjadi ketika ada peningkatan polusi PM2.5 sebesar 25 mikrogram per meter kubik,” katanya baru-baru ini.

Budi melanjutkan, dampak buruk pencemaran seperti PM10 menyerang saluran napas bagian atas seperti tenggorokan dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Sementara partikel PM2.5, CO serta O3 dapat menyerang saluran pernapasan bagian bawah, seperti paru-paru hingga jantung.

Selain medical report rumah sakit di Jakarta, riset terakhir tahun 2019 menunjukkan adanya peningkatan tren penyakit akibat polusi udara. Akan tetapi tren tersebut menurun landai pada tahun 2020 dan 2021.

Daerah Penyangga Berkontribusi Terhadap Pencemaran Udara

Direktur Eskekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Suci Fitria Tanjung menyebut, pencemaran udara di Jakarta tak serta merta berasal dari spektrum Jakarta. Tetapi daerah penyangga di sekitarnya seperti Tangerang dan Jawa Barat.

Hal ini tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara gugatan polusi udara di Ibu Kota yang warga Jakarta ajukan tahun 2019. Majelis Hakim PN Jakarta Pusat telah memutuskan Presiden Joko Widodo, Gubernur DKI Anies Baswedan melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Suci menilai, Pemprov DKI Jakarta telah berusaha mengendalikan emisi meski belum maksimal. Oleh sebab itu daerah penyangga lain seperti Jawa Barat dan Tangerang juga harus ikut mengendalikan.

“Saya tidak sepakat kalau polusi udara hanya dilihat dari spektrum Jakarta saja, karena pemicunya ada di sekitarnya,” imbuhnya.

Berdasarkan putusan pengadilan, Pemprov DKI Jakarta harus menginventarisasi sumber emisi yang tak bergerak seperti industri dan pembangkit listrik. Mandat itu pula yang seharusnya daerah penyangga di sekitar Jakarta lakukan.

Standar Baku Mutu Udara Tak Bisa Homogen

Sementara itu, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Luckmi Purwandari menyanggah, tidak tepat jika ada sebutan kualitas udara Jakarta terburuk di dunia.

Berdasarkan data IQair dalam waktu yang bersamaan banyak kota kota lain yang memiliki nilai indeks kualitas udara yang sama dengan Jakarta. Bahkan lebih tinggi dibanding Jakarta.

“Artinya ada beberapa kota lain di dunia memiliki kualitas udara lebih buruk. Data lainnya dari situs AQICN dengan kontributor data yang lebih banyak dibanding IQair. Data menunjukkan banyak kota-kota lain di dunia dengan nilai indeks kualitas udara lebih tinggi dibanding Jakarta,” paparnya.

Berdasarkan nilai Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) selama 15-20 Juni 2022 nilai ISPU pada stasiun pemantauan kualitas udara yang KLHK bangun di Gelora bung Karno menunjukkan nilai tertinggi 123 pada 15 Juni 2022.

Luckmi menyatakan, setiap negara memiliki kewenangan untuk merumuskan indeks kualitas udara sesuai dengan standar kualiatas udara masing-masing. Artinya, tidak wajib mengacu pada perumusan indeks kualitas udara satu negara tertentu ataupun WHO. Demikian juga penetapan standar atau baku mutu udara.

“Indonesia juga memiliki perumusan indeks kualitas udara yakni ISPU mengacu pada PermenLHK Nomor 14 Tahun 2021,” imbuhnya.

Kendati demikian, pemerintah terus memastikan perbaikan kualitas udara. Luckmi mengimbau, agar masyarakat turut serta dalam mengurangi emisi dengan cara mengurangi penggunaan kendaraan bermotor.

Selain itu juga memprioritaskan kendaraan umum atau yang lebih ramah lingkungan, menghemat listrik dan tidak melakukan pembakaran sampah plastik.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top