Perempuan Juga Bisa Memimpin Perjuangan Masyarakat

Reading time: 2 menit
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Begitu maraknya krisis sosial-ekologis di tengah masyarakat, seringkali memaksa masyarakat untuk bangkit dan memperjuangkan hak-haknya. Tidak jarang pula dalam situasi tersebut menciptakan sosok-sosok pemimpin yang rela berjuang dan berkorban dalam memperjuangkan hak masyarakat.

Namun tidak banyak orang yang tahu bahwa dalam kondisi seperti itu, ada juga perempuan-perempuan yang muncul sebagai pemimpin pembela hak masyarakat. Perempuan-perempuan ini hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap berbagai kerusakan ruang hidup, terlebih perempuan selalu menjadi perempuan yang menjadi korban di dalamnya.

Direktur Sajogyo Institute Eko Cahyono mengatakan bahwa dalam setiap kasus krisis sosial-ekologis, baik yang terjadi secara struktural yang dilakukan oleh negara maupun koorporasi, perempuan selalu menjadi korban yang paling dominan.

“Yang menarik adalah sekarang sudah semakin banyak pemimpin-pemimpin perempuan yang hadir di dalam perjuangan untuk melawan krisis sosial-ekologis dengan cara masing-masing. Mereka memimpin komunitas dan masyarakat dengan sangat gigih tanpa kenal menyerah,” ungkap Eko dalam diskusi Publik bertajuk “Mendorong Kepemimpinan Perempuan Mengurus Krisis Sosial-Ekologi di Nusantara,” Jakarta, Selasa (23/06/2015).

Eva Susanti Hanafi Bande, aktivis agraria yang akrab di sapa Eva Bande dan menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa saat ini, masyarakat sudah tidak bisa lagi mengelompokan gerakan-gerakan pembelaan hak masyarakat antara laki-laki dan perempuan, salah satunya gerakan petani.

“Sekarang tidak bisa lagi kita mendikotomikan gerakan petani antara laki-laki dan perempuan. Kita bisa bersama-sama melakukan dan memimpin, yang penting berkomitmen dan tidak pernah meninggalkan,” tuturnya.

Selain itu, Gunarti, perwakilan warga Samin yang terus menyuarakan penolakan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng juga menambahkan kalau keberadaan perempuan di setiap konflik agraria selalu menjadi kelompok yang mudah untuk dipengaruhi, ditakuti dan dibujuk hingga akhirnya, banyak perusahaan yang mendekati para kaum ibu untuk menjual tanahmya.

“Untuk itu, sejak tahun 2007, saya mengelilingi tujuh desa. Saya sudah diingatkan agar hati-hati. Saya sedih sekali, Gunung Kendeng akan di obrak-abrik. Hingga akhirnya saya dicurigai siapa yang membayar saya. Saya nanya pertama, sebenarnya orang hidup itu butuh apa? Tanah dan air. Sekarang tanah dan air kita mau diancam sama kendeng. Maka apa yang bisa kita lakukan. Sejak itu kami aksi untuk memperjuangkan dengan cara-cara yang halus dengan menggunakan tembang (lagu),” terangnya.

Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menuturkan bahwa ada banyak sekali perjuangan perempuan yang terjadi sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda dan tidak terpublikasi dengan baik.

“Lihat tahun 1928 selalu kita hanya mendegar tentang Sumpah Pemuda, padahal pada tahun yang sama juga ada kongres perempuan. Lalu melalui gerakan perempuan dan organisasi juga mengirim mosi kepada pemerintah Belanda untuk meminta persamaan di muka hukum. Jadi kalau perempuan bisa mengemukakan pendapat di muka hukum itu bukan gratis, itu ada perjuangannya. Lalu, gerakan perempuan dalam mengikuti pemilu juga sama. Kalau perempuan bisa ikut pemilu pada 1955 itu juga bukan gratis, ada perjuangannya,” tandasnya.

Sebagai informasi, diskusi yang dilakukan oleh Sajogyo Institute bersama Porgram Studi Kajian Gender Program Pascasarjana UI dan Mongabay serta didukung oleh Asia Foundation ini berlangsung di Kampus UI Salemba Gedung IASTH. Diskusi ini menghadirkan lima narasumber yang merupakan tokoh pejuang perempuan dari lima provinsi, di antaranya Eva Bande (Sulawesi Tengah), Aleta Baun (NTT), Nissa Wargadipura (Garut), Oppung Putra (Perempuan Petani Sumatera Utara), dan Gunarti (Jawa Tengah).

Penulis: Danny Kosasih

Top