Perubahan Iklim Nyata, Kenaikan Suhu Picu Badai Tropis dan Bencana

Reading time: 3 menit
Kenaikan permukaan air laut dan pasang laut saat gerhana menyebabkan rob di wilayah pesisir. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan dalam 10 tahun ke depan suhu udara semakin meningkat. BMKG melihat adanya tren kenaikan suhu udara di Indonesia. Peningkatan suhu ini akan memicu seringnya kejadian badai tropis dan bencana.

“Karena ada tren dari monitoring BMKG sejak tahun 1960 hingga 2021 kenaikan suhu udara di wilayah Indonesia rata-rata mencapai 0,9 derajat Celcius dan tertinggi mencapai 1,4 derajat Celcius. Jadi ada tren kenaikan yang signifikan,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Jakarta, baru-baru ini.

Dwikorita menyebut, terjadinya kenaikan suhu udara di wilayah Indonesia tersebut merupakan penyebab sering terjadinya badai tropis, cuaca ekstrem hingga El Nino.

“Dengan adanya tren kenaikan suhu sebagai tanda adanya perubahan iklim baik global maupun di wilayah Indonesia tampaknya semakin korelatif dengan semakin seringnya terjadi badai tropis, cuaca ekstrem, La Nina, El Nino. Di tahun 1950 sampai 1970 berkisar periode kejadian ulangnya 5-7 tahun,” jelasnya.

Lalu periode tahun 1980-2021, kejadian-kejadian tersebut semakin sering terjadi seperti La Nina yang terjadi dalam waktu dua tahun berturut-turut.

“Tetapi setelah 1980 sampai saat ini kejadian periode ulangnya 2 sampai 3 tahun. Bahkan untuk kali ini setiap tahun itu terjadi seperti pada tahun lalu dan tahun ini terjadi La Nina,” ungkapnya.

Kenaikan Muka Air Laut dan Bencana Rob

Tanda lain yang menjadi dampak perubahan iklim adalah kenaikan muka air laut. Hal ini akan berdampak buruk ketika pasang laut saat purnama terjadi. Akibatnya banjir rob semakin meluas.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2020 telah terjadi 35 banjir rob. Sebanyak 32.413 rumah terendam dan sebanyak 181.454 warga terdampak. Banjir rob ini terjadi di sebanyak 27 wilayah di Indonesia.

Sementara pada tahun 2021 terjadi peningkatan banjir rob. BNPB mencatat ada 51 kejadian dan mengakibatkan sebanyak 136.998 rumah terendam. Sebanyak 582.294 warga terdampak. Banjir rob pada tahun ini juga semakin meluas hingga ke 43 wilayah di Indonesia.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menjelaskan, banjir rob yang terjadi di beberapa wilayah khususnya yang terjadi belakangan ini karena terjadi kondisi perigee yaitu ketika posisi bulan berada pada jarak terdekat dengan bumi. Hal ini mengakibatkan tinggi muka air saat pasang lebih tinggi dari kondisi biasa.

Hal ini kemudian terakumulasi oleh faktor cuaca ekstrem dengan adanya 3 pusaran badai yang sedang berkembang di sekitar wilayah perairan Indonesia. Akumulasi curah hujan dan angin kencang berpengaruh pada pembentukan gelombang laut ekstrem dan berdampak pada wilayah pesisir.

“Perubahan iklim lebih ke arah dampak dalam mempertinggi frekuensi dari climate related disaster seperti banjir, banjir bandang, longsor karena perubahan pola hujan ekstrem terkait fenomena regional seperti La Nina dan El Nino,” kata Abdul kepada Greeners di Jakarta, Jumat (10/12).

Kenaikan muka air laut mengancam kawasan pesisir. Foto: Shutterstock

Tren Kenaikan Muka Air Laut Hingga 2030

Di samping itu, BMKG juga telah mengeluarkan peringatan kewaspadaan atas terdeteksinya anomali iklim global yaitu suhu muka air laut di Samudra Pasifik di bagian ekuator tengah sampai timur semakin mendingin. Sementara suhu muka air laut di Indonesia semakin menghangat.

Menanggapi hal tersebut, Pakar oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Zainal Arifin mengatakan, tren kenaikan muka air tersebut masih akan terus terjadi hingga tahun 2030.

“Memang demikian, tren kenaikan muka air laut akan terus terjadi. Perkiraannya sampai dengan tahun 2030 akibat perubahan iklim. Intensitasnya juga akan meluas terutama saat purnama dan bulan baru,” kata Zainal kepada Greeners.

Sementara itu, Bank Indonesia dalam sebuah kesempatan menyebut kerugian akibat cuaca ekstrem yang Indonesia alami bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun. Bahkan kerugian akibat cuaca ekstrem ini pada tahun 2050 diprediksi dapat mencapai 40 % dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Penulis : Fitri Annisa

Top