Jakarta (Greeners) – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI baru-baru ini mengadakan rapat pleno. Hal itu untuk membahas perubahan ketiga Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Perubahan ini untuk mendorong hilirisasi dan mempercepat pemberian izin pertambangan. Namun, di balik narasi tersebut, terdapat ancaman serius bagi lingkungan hidup dan hak masyarakat.
Indonesian Environmental Centre for Law (ICEL) mengkritisi perubahan UU Minerba ini. Salah satu kritik utama mereka adalah jaminan tidak adanya perubahan tata ruang yang tidak sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 17A, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), serta Pasal 172B ayat (2) dalam perubahan UU ini menjamin tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Pengaturan ini pada dasarnya mengakomodasi Putusan MK No. 37/PUU-XIX/2021.
Namun, menurut Deputi Program ICEL, Bella Nathania, Putusan MK tersebut memandang sempit permasalahan dampak lingkungan yang timbul dari kegiatan usaha pertambangan. Putusan itu hanya terbatas pada evaluasi perizinan, tanpa melihat lebih dalam pada evaluasi daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di kawasan pertambangan.
BACA JUGA: UU Minerba Buka Peluang Korupsi Sumber Daya Alam
βPerubahan undang-undang ini menunjukkan bahwa DPR menutup mata, terhadap kenyataan bahwa kegiatan usaha pertambangan mengancam ekosistem dan ruang hidup masyarakat dengan dampak yang tidak terpulihkan. Tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, perubahan ini bukanlah solusi, melainkan masalah baru,β ujar Bella lewat keterangan tertulisnya, Senin (20/1).
Penetapan WIUP dan WIUPK tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan juga akan berdampak negatif terhadap lingkungan hidup, akibat aktivitas pertambangan yang tidak terpulihkan.
Mengedepankan Eksploitasi
Selain itu, ICEL juga menyoroti bahwa agenda pertambangan dalam Perubahan UU Minerba masih mengedepankan eksploitasi daripada perbaikan tata kelola pertambangan.
Dalam draf perubahan tersebut, revisi UU Minerba belum merespons urgensi pengawasan terhadap perizinan pertambangan mineral dan batu bara yang telah terbit. Hal ini mencakup izin yang sudah beroperasi maupun izin yang tidak aktif, yang belum mendapat penegakan hukum yang memadai.
Hingga tahun 2024, tercatat lebih dari 4.000 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia. Banyak pelanggaran terhadap kewajiban izin dan pengelolaan lingkungan hidup terjadi di wilayah izin pertambangan, termasuk pelanggaran pascatambang. Masih terdapat lebih dari 1.000 lubang tambang yang belum pulih. Itu menunjukkan ketidakmampuan pengelolaan lingkungan pascatambang di banyak lokasi.
Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani, menegaskan bahwa DPR seharusnya fokus menggencarkan proses peninjauan kepatuhan terhadap izin-izin pertambangan. Selain itu, DPR juga perlu memfasilitasi penegakan hukum yang lebih kuat dalam perubahan UU Minerba.
“Pemberian izin-izin baru tanpa adanya peningkatan dukungan terhadap penegakan hukum di sektor pertambangan semakin memperparah dampak pertambangan mineral dan batubara,” ucapnya.
Buka Pintu Eksploitasi
Terlebih lagi, Pasal 51, 51A, 51B, dan Pasal 104C dalam perubahan UU Minerba secara eksplisit mendukung hilirisasi mineral logam. Dukungan ini dilakukan melalui penugasan eksplorasi dan pemberian WIUP secara lelang dan prioritas, tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan hidup.
Padahal, hingga tahun 2020, setidaknya terdapat 339 IUP/KK aktif untuk pertambangan nikel dengan luas wilayah pertambangan mencapai 836.000 hektare. Eksploitasi nikel skala besar dalam beberapa tahun terakhir ini telah menimbulkan berbagai eksternalitas negatif di wilayah pusat pertambangan nikel. Seperti memburuknya kualitas air dan sanitasi di sekitar wilayah tambang.
βMemberikan WIUP secara prioritas untuk hilirisasi, tanpa mempertimbangkan lingkungan hidup dan tanpa evaluasi peninjauan terhadap riwayat ketercapaian tujuan hilirisasi serta kepatuhan perusahaan, hanya akan membuka pintu untuk eksploitasi lebih besar dan memperburuk tata kelola pertambangan di Indonesia,” tambah Syaharani.
BACA JUGA: Masyarakat Sipil Gelar Sidang Rakyat Menggugat UU Minerba
Menurutnya, pengaturan ini semakin rawan disalahgunakan dan menutup transparansi yang seharusnya menjadi dasar dalam pengelolaan sumber daya alam.
Di samping itu, ICEL juga menyoroti bahwa perubahan UU Minerba ini masih membuka ruang bagi kriminalisasi masyarakat di sektor pertambangan. Hingga 2024, setidaknya terdapat delapan kasus kriminalisasi melalui Pasal 162 terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
ICEL menilai bahwa proses perubahan UU Minerba ini tidak sesuai dengan tata cara penyusunan undang-undang. Seharusnya, UU tersebut mengedepankan transparansi dan partisipasi publik.
Mereka mendesak DPR RI untuk segera menghentikan proses pembahasan perubahan UU Minerba yang sedang berlangsung. Proses itu terkesan terburu-buru. Substansi perubahan ini juga berpotensi menimbulkan masalah baru dalam tata kelola pertambangan dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Menurutnya, penyusunan peraturan perundang-undangan seharusnya mengutamakan transparansi dan memberikan ruang bagi partisipasi aktif masyarakat.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia