Potensi Bencana di Balik Energi Batu Bara

Reading time: 2 menit

SEMARANG (Greeners) – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur menyebut energi batubara tidak hanya merupakan energi yang ‘kotor’, namun juga energi yang membawa maut. Sebab, semenjak digali dari dalam perut bumi batubara telah membawa masalah kepada masyarakat di atasnya. Demikian disampaikan Merah Johansyah Ismail, Dinamisator Jatam Kaltim, dalam seminar nasional bertajuk Dilema Energi untuk Negeri, Dibalik Rencana Pembangunan PLTU Batang, Senin (10/6/2014) di Hotel Grasia, Semarang.

Merah membeberkan beberapa bukti kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pengerukan batubara di wilayah tersebut di depan mahasiswa dan warga sekitar lokasi rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang.

Menurut Merah, lokasi tambang batubara jelas mengorbankan lahan pertanian di wilayah tersebut dan dampaknya tidak hanya dirasakan pada warga di kawasan keruk namun juga di kawasan hilir dari operasi pertambangan. Hal ini membuat warga setempat bertetangga dengan bencana sejak awal pertambangan.

Tambang batubara, kata Merah, merupakan industri ‘rakus’ lahan. Ia menyontohkan, perusahaan pertambangan BHP Billiton memiliki konsesi 335 ribu hektar atau nyaris 5 kali luas kota Samarinda. “Ini yang membuat warga Kaltim bertetangga dengan bencana,” katanya.

Selain itu, Merah membeberkan, pada Desember 2012, sekitar 40 % warga Samarinda terpapar ISPA dan 70 % di antaranya tinggal di kawasan dekat operasi tambang. Debu dan pencemaran sungai Mahakam yang menjadi sumber air minum baku warga juga merupakan dampak dari operasi tambang batubara.

Bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja juga berpotensi menelan korban jiwa. Menurut Merah, tiga tahun belakangan, sudah delapan anak tewas di lubang bekas tambang yang tidak ditutup di Samarinda. Sedangkan di Kukar, sudah 4 anak dan 2 orang dewasa meninggal dunia sejak tahun 2009.

“Celakanya, BLH Samarinda menyebut masih ada 150 lubang tambang yg menganga dan berjarak paling dekat 50 meter dengan pemukiman warga,” ujarnya.

Senada dengan Jatam Kaltim, Greenpeace juga mendesak rencana pembangunan PLTU Batang harus dibatalkan. Mereka menilai rencana pembangunan tersebut bukan hanya bertolak belakang dengan komitmen SBY untuk mengurangi emisi karbon dari Indonesia, tetapi juga mengancam kelestarian lingkungan, menghilangkan mata pencaharian warga, serta mengancam kesehatan dan keselamatan warga.

Arif Fiyanto, Team Leader Climate and Energy Campaign, Greenpeace Southeast Asia-Indonesia, menegaskan, proses pengesahan AMDAL PLTU Batang tidak mengakomodasi dan memperhitungkan suara ribuan petani dan nelayan yang menolaknya. Menurut Arif, masih banyak potensi energi alternatif yang tersedia di Indonesia dengan tidak mengorbankan rakyatnya.

“Solusinya pemerintah harus mengembangkan energi terbarukan dan efisiensi energi seperti tenaga surya, panas bumi, tenaga angin, dan air,” ujarnya.

(G17)

Top