Ledakan Hama Belalang Di Sumba, Pakar: Dampak Perubahan Iklim

Reading time: 3 menit
Hama belalang ini merusak tanaman pertanian sehingga menyebabkan gagal panen. Foto: DKP3 Kota Banjar Baru

Jakarta (Greeners) – Hama belalang kembara masih menjadi ancaman pertanian di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut pakar, kejadian ini juga erat dengan dampak perubahan iklim.

Oleh sebab itu, perlu aksi nyata mitigasi perubahan iklim, agar koloni Locusta Migratoria ini tidak semakin merusak lahan pertanian dan sawah.

Aktivitas hama belalang kembara semakin mengganas di tahun 2022. Ledakan populasi hama ini telah menyerang ribuan hektare lahan jagung dan sawah pertanian warga. Sejumlah wilayah dipastikan gagal panen.

Dinas Pertanian setempat melalui brigade pembasmi hama belalang telah melakukan penyemprotan menggunakan pestisida. Akan tetapi, langkah strategis dalam adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim menjadi hal wajib sebagai bentuk investasi jangka panjang.

Peneliti Entomologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rosichon Ubaidillah berpendapat, merebaknya spesies hama serangga di daerah tropis tak lepas dari pengaruh perubahan iklim.

Perubahan iklim mendorong reproduksi dan memperluas jangkauan mereka hingga bisa memicu migrasi secara massal ke lokasi pusat makanan, seperti sawah dan ladang.

“Perubahan iklim memiliki dampak besar pada migrasi ini. Suhu dan curah hujan dapat menjadi parameter penting yang mendorong dampak migrasi belalang pada tanaman pertanian,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Kamis (7/4).

Perubahan pola curah hujan di daerah kering menjadi penyebab sarang telur belalang dalam tanah meningkat populasinya. Telur-telur tersebut tak hanya terakumulasi pada musim kering dan menetas pada hujan tiba, tapi juga terangsang adanya daun-daun baru pada musim hujan.

Serangan Hama Belalang Kembara Terburuk Selama 70 Tahun Terakhir

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) serangan hama belalang kembara dalam tiga tahun terakhir merupakan yang terburuk dalam kurun waktu 70 tahun terakhir. Khusus untuk di NTT, sambung Rosichon, hal ini dipicu oleh perubahan iklim, angin kencang dan hujan lebat yang telah terjadi beberapa tahun terakhir.

Selain mempengaruhi dinamika populasi serangga dan kemampuan perluasan jangkauan geografis, perubahan iklim juga mampu mempengaruhi peningkatan risiko spesies serangga invasif. Selain itu juga terjadi peningkatan insiden penyakit tanaman.

Lebih jauh, Rosichon menyebut, merebaknya belalang kembara juga tak lepas dari perubahan tata guna lahan atau deforestasi. Selain meningkatkan kondisi iklim lokal, yaitu curah hujan yang tak teratur, deforestasi juga dapat menghilangkan habitat binatang pemangsa hama belalang kembara, seperti burung dan reptil.

Tak hanya di Sumba, belalang kembara meledak dengan kerusakan terluas di Provinsi Lampung selama April hingga Mei 1998. Ribuan hektare areal tanaman padi menjelang panen dan jagung yang tengah berbunga hancur dalam waktu semalam. Selain itu, beberapa tempat lain juga gagal panen seperti di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah.

Rosichon menyebut, perubahan iklim juga berimbas pada populasi hama serangga lainnya. Misalnya fenomena ledakan ulat bulu, ulat jagung serta tomcat.

Ledakan Populasi Ulat Bulu juga Pernah Terjadi

Khusus untuk ledakan populasi ulat bulu, setidaknya ada empat peristiwa ledakan populasi yang pernah terjadi. Kali pertama yaitu di Pasar Minggu, Jakarta Selatan (ulat jambu alias Trabala vishnou) pada tahun 1980. Kasus lainnya di Bogor pada tahun 1985 (Maenas maculifascia) menyerang kenanga.

Ledakan populasi ulat flamboyan (Pericyma cruegeri) di Bogor pada tahun 1994. Selanjutnya, ulat rambutan (Hyperaeschrella insulicola) yang meledak populasinya di Subang hampir setiap 3 tahun.

Rosichon menilai, pentingnya perencanaan dan perumusan strategi adaptasi dan mitigasi. Caranya dengan memodifikasi penerapan pengendalian hama terpadu (integrated pests management) dan penggunaan alat pemodelan korelatif.

Hal ini bertujuan untuk memproyeksikan perubahan lingkungan. Misalnya dengan beberapa parameter, termasuk iklim dan distribusi geografis spesies. Selain itu juga bisa menilai tingkat kepunahan spesies. Konsep ini sudah banyak negara maju kembangkan.

Jaga Ekosistem Hutan Sebagai Habitat Serangga

Pakar Lingkungan Institut Pertanian Bogor Bambang Hero menyatakan, penting aksi-aksi nyata dalam melawan perubahan iklim. Termasuk menjaga ekosistem hutan sebagai habitat serangga agar tetap terjaga. Jangan sampai, karena kerakusan untuk kepentingan ekonomi terjadi ketidakseimbangan ekosistem.

“Di sinilah perlunya menjaga keberlanjutan fungsi hutan sebagai habitat hewan, termasuk serangga belalang kembara. Jangan sampai imbas deforestasi menyebabkan hewan pemangsa serangga yang turut memastikan keseimbangan ekosistem hilang begitu saja. Akhirnya menyebabkan ledakan populasi serangga ini,” paparnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top