Potensi Energi Terbarukan Melimpah, Pemanfaatannya Belum Maksimal

Reading time: 3 menit
energi terbarukan
Ilustrasi. Foto: wikimedia

Jakarta (Greeners) – Dalam upaya menghadapi perubahan iklim global, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% pada tahun 2030. Pemerintah sendiri menargetkan sektor energi dapat berkontribusi dalam pengurangan emisi sebesar 11% atau sebanyak 314 juta ton CO2. Meski demikian, tidak adanya kesetaraan kebijakan antara energi fosil dan energi terbarukan masih menjadi kendala.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, potensi energi terbarukan yang dimanfaatkan baru sebesar 2% dengan rincian yaitu energi panas bumi memiliki potensi sumber daya 11,0 GW, menyimpan 17,5 GW, realisasi PLTP 1,949 GW (0,44%); energi air memiliki potensi 75 GW (19,3 GW), realisasi PLTA 5,124 GW dan PLTMH 0,216 GW (1,21%); energi bioenergi memiliki potensi PLT Bio 32,6 GW, BBN 200 ribu Bph, realisasi PLT Bio 1,840 GW (0,42%); energi angin memiliki potensi 60,6 GW, realisasi PLTB 76,1 MW (0,0002%); energi surya memiliki potensi PLTS 207,8 GWP, realisasi PLTS 0,090 GWP (0,02%); dan energi laut memiliki potensi 17,9 GW namun belum ada yang dimanfaatkan.

“Energi-energi yang belum dimanfaatkan masih banyak. Dari total energi terbarukan yang kita punya saat ini sebesar 441,7 GW baru terpasang atau dimaksimalkan sebanyak 9,29 GW, ini baru dua persennya. Artinya banyak kendala dan tantangan yang harus kita lihat dan perbaiki,” ujar Mustaba Ari, Kepala Sub Bidang Pengawasan Infrastruktur Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kepada Greeners saat ditemui dalam acara ICCTF Day di Jakarta beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: ICCTF Mendanai 76 Proyek Mitigasi Berbasis Lahan, Perubahan Iklim, dan Energi 

Salah satu kendala tersebut adalah masalah pembiayaan. Menurut Ari, biaya energi terbarukan masih relatif mahal dan kalah saing dengan energi fosil yang relatif murah. Selain itu belum ada bantuan atau subsidi jika energi terbarukan ini diimplementasikan kepada masyarakat.

“Energi terbarukan itu memang mahal, otomatis daya beli masyarakat juga harus tinggi. Tetapi energi terbarukan tidak mengandung emisi dan ini berbanding terbalik dengan energi fosil yang harganya murah, daya beli masyarakat rendah tetapi mengandung emisi. Sekarang tinggal memilih mau yang mana?” kata Ari.

Sependapat dengan Ari, Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI), Moekti Handajani Soejachmoen, mengatakan, tantangan energi terbarukan ialah kompetisi harga atau biaya dengan harga yang lebih murah. Selain itu, menurut Moekti kebijakan saat ini tidak mengakomodasi dan tidak memperhitungkan bahwa emisi GRK dan emisi CO2 adalah beban dan biaya yang ditanggung oleh fosil.

“Energi fosil kita saat ini tidak memasukkan kebijakan biaya lingkungan dan tidak memasukkan biaya untuk emisi CO2 yang berdampak pada emisi GRK, jadi ya pasti murah. Kita setuju (energi fosil) harus murah supaya terjangkau, tapi kita harus melihat dalam 20 tahun ke depan misalnya ada climate change habislah kita. Berbeda dengan energi terbarukan yang awalnya memang mahal tapi dampaknya tidak ada emisi,” ujar Moekti saat ditemui di acara Instrumen Berbasis Pasar untuk Mitigasi Sektor Energi di Manggala Wanabhakti, Jakarta, Rabu (1/08/2018).

BACA JUGA: Tanaman Sorgum Berpeluang Dijadikan Energi Alternatif Biomassa

Menurut sumber British Petroleum & Gapminder, hasil pembakaran bahan bakar fosil merupakan salah satu sumber utama emisi gas rumah kaca (GRK). Indonesia menempati peringkat ke-14 dalam hal konsumsi bahan bakar fosil di mana dari konsumsi tersebut sektor pembangkitan listrik dan industri memiliki tingkat emisi GRK yang besar dan signifikan dalam bauran emisi nasional.

“Kita berharap energi terbarukan bisa berkembang, karena yang namanya fosil pasti akan habis. Saat ini kita sudah punya masalah dengan BBM impor dan mahal, namun sebetulnya itu bisa kita pakai untuk jadi alasan membangun energi terbarukan ini karena dalam jangka panjang biayanya akan lebih murah dan fosil makin lama akan lebih mahal,” kata Moekti.

Moekti yakin jika sektor energi masih bisa mengejar target 11% sesuai yang direncanakan dalam NDC (Nationally Determined Contribution), namun harus ada perubahan kebijakan terkait penggunaan energi fosil.

Penulis: Dewi Purningsih

Top