Walhi: Program Kehutanan Masih Tunduk pada Kepentingan Korporasi

Reading time: 3 menit
Walhi menilai program kehutanan masih tunduk pada kepentingan korporasi. Foto: Walhi
Walhi menilai program kehutanan masih tunduk pada kepentingan korporasi. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Pada akhir November 2024, Kementerian Kehutanan mengumumkan lima program strategis untuk meningkatkan pengelolaan hutan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa program-program tersebut masih mengandung kontradiksi dan lebih berpihak pada kepentingan korporasi.

Walhi berpendapat bahwa turunan dari kelima program prioritas tersebut menunjukkan kurangnya keseriusan negara dalam melindungi hutan alam yang tersisa dan memastikan hak rakyat atas wilayah kelolanya di atas kawasan hutan. Program-program ini, menurut Walhi, justru lebih menguntungkan korporasi dan tidak memprioritaskan kepentingan publik.

Salah satu program, Digitalisasi Layanan: Transparansi, Akuntabilitas, Efektivitas, dan Efisiensi Tata, bertujuan untuk meningkatkan transparansi. Namun, sayangnya program ini tidak secara tegas menyebutkan pentingnya keterbukaan informasi publik dan partisipasi bermakna dalam pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan, hingga pelayanan masyarakat. Alih-alih, program ini lebih membuka ruang bagi kemudahan berbisnis bagi korporasi dan meningkatkan penerimaan negara.

BACA JUGA: Erna Witoelar Harap Pengusaha Melakukan Proses Amdal dengan Benar

Selain itu, program Penguasaan Hutan yang Berkeadilan juga mendapat kritik tajam. Walhi menilai bahwa Kementerian Kehutanan gagal memahami konsep penguasaan hutan yang berkeadilan. Sebab, program ini tidak menyentuh penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan. Fokus kementerian lebih condong pada penanganan sawit ilegal dan penertiban izin-izin yang ada, tanpa mengutamakan penyelesaian masalah yang lebih mendasar.

Menurut Walhi, penguasaan hutan yang berkeadilan seharusnya lebih mengarah pada upaya penyelesaian konflik agraria dan perhutanan sosial. Bukan hanya sekadar penertiban izin dan audit yang cenderung tidak berhubungan langsung dengan pemulihan lingkungan.

Tidak Berbeda dari Rezim Sebelumnya

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian mengatakan bahwa program ini tidak ada yang berbeda dari rezim sebelumnya. Artinya, Presiden Prabowo tidak lebih berani dari Presiden Jokowi untuk memimpin langsung penegakan hukum kepada perusahaan ilegal atau kegiatan merusak lainnya di kawasan hutan.

“Penertiban atau pencabutan dan audit perizinan dalam kerangka aksi korektif juga tidak dijelaskan secara detail ke mana kebijakan ini diarahkan. Ada kekhawatiran apa yang pernah dilakukan pada pemerintah sebelumnya kembali diulang,” kata Uli lewat keterangan tertulisnya, Kamis (5/12).

Pencabutan izin dan penegakan hukum yang dilakukan tidak berkohesi langsung dengan upaya pemulihan lingkungan dan penyelesaian konflik agraria. Areal-areal kerja korporasi yang dicabut pada pemerintah sebelumnya malah mayoritasnya sekadar bertukar tuan.

Pemutihan Sawit Jadi Bukti Nyata

Pemutihan sawit dalam kawasan hutan merupakan bukti nyata bagaimana negara tunduk pada kepentingan korporasi. Proses pemutihan yang gelap ini pada akhirnya berujung pada tindak korupsi.

Bahkan, pada dua bulan lalu, Kejaksaan Agung menggeledah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait indikasi korupsi dalam tata kelola sawit di kawasan hutan.

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Even Sembiring, menyebutkan bahwa 79,54% dari total luasan perkebunan sawit ilegal yang saat ini dalam proses penyelesaiannya merupakan milik korporasi. Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan penyelesaian sawit ilegal di kawasan hutan sebenarnya lebih menguntungkan korporasi.

BACA JUGA: Walhi Somasi Presiden Soal Kebakaran Riau

“Seharusnya sebelum memberikan insentif atas kebijakan tersebut, Menteri Kehutanan harus terlebih dahulu melakukan beberapa evaluasi proses ini,” kata Even.

Pertama, terkait ketiadaan safeguard penyelesaian konflik, riwayat karhutla, dan aspek pencemaran berikut perusakan hutan lainnya. Penyelesaian sawit ilegal di kawasan hutan harus terlebih dahulu menyasar hal-hal tersebut.

Selain itu, temuan dan analisis spasial Walhi Riau menunjukkan bahwa sekitar 828,1 hektare kawasan hutan di tiga kabupaten/kota di Provinsi Riau telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini terjadi pasca Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK).

Angka tersebut berpotensi lebih besar. Sebab, pada periode 2020 hingga 2022, sekitar 49,1 ribu hektare kawasan hutan telah beralih fungsi untuk perkebunan. Bahkan, aktivitas ilegal ini masih terus berlangsung.

“Janji untuk menindak tegas korporasi dan pelaku usaha besar yang terus melakukan aktivitas ilegal di kawasan hutan pasca UU CK  tidak terbukti,” tegas Even.

Di awal masa jabatan ini, Walhi Riau menantang Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk melakukan penegakan hukum pidana secara tegas terhadap aktivitas-aktivitas perkebunan ilegal skala besar di kawasan hutan Riau.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top