Rempang Eco City Bukan Lagi PSN, Warga Desak Proyek Dihentikan

Reading time: 3 menit
Warga Pulau Rempang desak penghentian proyek Rempang Eco City. Foto: Walhi Riau
Warga Pulau Rempang desak penghentian proyek Rempang Eco City. Foto: Walhi Riau

Jakarta (Greeners) – Warga Pulau Rempang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP), bersama Komisi VI DPR RI pada Senin (28/4). Mereka mendapatkan pendampingan dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang. Dalam pertemuan tersebut, warga menyampaikan penolakan mereka terhadap proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.

Dalam RDP yang dipimpin oleh Nurdin Khalid tersebut, warga mengemukakan berbagai persoalan yang timbul akibat rencana pengembangan Rempang Eco City. Mereka menegaskan bahwa proyek ini berdampak serius bagi kehidupan masyarakat Pulau Rempang secara turun-temurun selama ratusan tahun.

BACA JUGA: Proyek Rempang Berlanjut, Penolakan Masyarakat Diabaikan

Warga juga mengaku mengalami intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi sejak pengumuman rencana proyek tersebut. Ketidaknyamanan juga mulai terasa dalam aktivitas sehari-hari seperti melaut dan berkebun, yang berdampak langsung pada penurunan penghasilan mereka.

Alat tangkap warga rusak dan kebun mereka terbengkalai karena terbagi fokus menjaga kampung dari ancaman penggusuran. Selain itu, layanan umum juga terganggu dan kerusakan lingkungan mulai terjadi di sekitar Pulau Rempang.

Terkait kriminalisasi, warga juga melaporkan bahwa puluhan orang telah menjadi korban penangkapan sejak September 2023. Selain itu, intimidasi terus berlangsung seiring dengan kehadiran petugas keamanan dari PT Makmur Elok Graha (MEG) di kampung-kampung warga. Dalam sejumlah kejadian, intimidasi tersebut bahkan berujung pada kekerasan fisik oleh petugas keamanan perusahaan.

Rempang Bukan PSN

Menanggapi aduan masyarakat Pulau Rempang ini, sejumlah anggota Komisi VI DPR RI membuka suara. Salah satunya adalah Rieke Diah Pitaloka Intan Purnama Sari. Ia mengapresiasi pencabutan status PSN untuk proyek Rempang sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025.

β€œWarga tidak mungkin datang ke sini kalau mereka tidak putus asa. Insya Allah tidak ada yang tidak bisa. Saya dukung pemerintah untuk evaluasi PSN Rempang Eco City, apalagi (statusnya) sudah tidak PSN. Tidak ada satu agama pun mengizinkan perampasan tanah masyarakat,” ungkap Rieke.

Rieke mendesak jaksa agung untuk mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam potensi korupsi di proyek Rempang Eco City. Ia juga mendorong audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Badan Pengusahaan (BP) Batam yang selama ini memainkan peran penting di sana.

β€œApakah proyek ini sudah ada kajian atau belum? Investasi belum pasti, tapi kerugian sudah masyarakat dapatkan,” tambahnya.

Terkait dengan aduan warga Rempang soal adanya intimidasi, pihaknya berharap keadilan seadil-adilnya untuk masyarakat. Ia mendesak agar segala bentuk kekerasanan, intimidasi, kriminalisasi bagi masyarakat Pulau Rempang dan masyarakat di mana pun berada bisa berhenti.

Tak Melibatkan Warga

Pengacara dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, Edy K Wahid mengatakan masyarakat Pulau Rempang dari awal tidak terlibat dalam rencana PSN Rempang Eco City. Hal ini menandakan pemerintah tidak mengakui masyarakat di Pulau Rempang.

Akibatnya, sampai saat ini tidak muncul solusi yang jelas dari persoalan yang ada di Pulau Rempang. Padahal, masyarakat sudah hidup turun-temurun sejak ratusan tahun lalu di sana.

β€œSaat ini tidak ada pengakuan hak pada masyarakat Rempang oleh BP Batam. Akui dulu hak masyarakat, baru bisa musyawarah,” ujarnya.

BACA JUGA: 10 Hak Masyarakat Adat Terampas Akibat Proyek di Rempang

Senada dengan Edy, pengacara dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang lain, Ahmad Fauzi, menyampaikan pihaknya juga menyoroti Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Menurutnya, aturan ini menjadi momok bagi masyarakat Batam. Sebab, BP Batam berwenang atas lahan yang ada di Batam yang mencakup wilayah kerjanya.

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, meminta Komisi VI DPR RI untuk memperhatikan betul aturan ini. Sebab, saat ini konflik karena ancaman penggusuran, tidak hanya terjadi di Pulau Rempang, tetapi juga menimpa masyarakat di bagian lain di Kota Batam.

Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Eko Yunanda juga menilai rencana pembangunan di Pulau Rempang, tidak berlandaskan HAM dan belum memiliki kajian dampak lingkungan.

Ia menekankan bahwa sebagai pulau kecil, Rempang, tidak seharusnya menanggung beban pembangunan besar seperti PLTS dan pabrik kaca. Proyek tersebut berpotensi merusak daya dukung lingkungan, ekosistem laut, serta mengancam ketahanan pangan lokal.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top