Jakarta (Greeners) – Polres Kotawaringin Barat menetapkan Kepala Desa Tempayung, Syachyunie (47), dari Kabupaten Kotawaringin Barat sebagai tersangka. Ia mendapat tuduhan sebagai dalang pemortalan akses jalan menuju perkebunan PT. Sungai Rangit Sampoerna Agro, sebuah aksi masyarakat adat Desa Tempayung untuk menuntut hak mereka atas plasma sawit.
Syachyunie menjelaskan bahwa kasus ini bermula ketika masyarakat menuntut perusahaan perkebunan untuk memberikan plasma sawit sebesar 20 persen kepada mereka. Hal itu sesuai dengan regulasi dan perjanjian kedua belah pihak. Namun, meskipun pihaknya telah melakukan tiga kali mediasi di tingkat kabupaten, perusahaan tetap menyangkal tuntutan tersebut.
“Mereka hanya berpegang pada data, sedangkan kami yang berada di lapangan mengetahui bahwa realisasi plasma tidak sesuai janji,” ujarnya melansir laman berita AMAN.
BACA JUGA: Hak Perempuan Adat Belum Terpenuhi
Meskipun sudah melakukan mediasi tiga kali, hasilnya tetap tidak memuaskan. Masyarakat pun merasa muak dan akhirnya melakukan aksi. Sebagai Kepala Desa, Syachyunie terus mendampingi masyarakatnya. Sayangnya, apa yang ia lakukan justru menjadi bumerang. Ia dituduh sebagai provokator dari aksi masyarakat, sebuah stigma yang menutup mata pada niat baiknya untuk menjaga agar aksi tetap berlangsung damai.
Syachyunie merasa kaget dan kecewa atas tuduhan tersebut. “Padahal, kemarin masih dalam tahap mediasi di Kabupaten, tiba-tiba saya jadi tersangka,” katanya.
Ia menduga ada pengkhianatan dalam perjuangannya, yang memungkinkan pihak perusahaan mendapatkan informasi untuk memperkuat tuduhan terhadap Syachyunie. Namun, meskipun merasa dikhianati, Syachyunie tetap menguatkan dirinya.
Ia tetap optimistis. Baginya, perjuangan ini adalah soal masa depan masyarakat adat Tempayung agar mereka tetap menjadi tuan di tanah mereka sendiri.
AMAN Kotawaringin Barat menilai bahwa tidak pantas aparat penegak hukum mengkriminalisasi anggota komunitas masyarakat adat Tempayung yang berusia 47 tahun tersebut atas tuduhan itu. Mereka pun meminta aparat penegak hukum membebaskan Syachyunie.
Tuduhan Palsu
Sebelumnya, penyidik Polres Kotawaringin Barat menetapkan Syachyunie sebagai tersangka setelah memeriksanya pada Jumat, 27 September 2024. Saat itu, ia baru saja tiba dari perjalanan dinas di Jakarta.
Polisi menjemputnya di Bandara Iskandar Pangkalanbun dan langsung membawanya ke kantor Polres untuk menjalani pemeriksaan terkait tuduhan tersebut. Meskipun tidak langsung ditahan berkat permintaan dari Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat dan jaminan dari Camat Kotawaringin Lama, Syachyunie tetap jadi tersangka.
Syachyunie mengungkapkan, ketika polisi pertama kali menjemputnya di bandara, mereka memberitahunya bahwa tujuannya hanya untuk klarifikasi. Proses klarifikasi itu berlangsung cepat. Namun, tak lama kemudian, polisi menyodorkan surat penangkapan dan penahanan kepadanya. Syachyunie menolak penetapan dirinya sebagai tersangka dan juga menolak menandatangani surat tersebut.
“Saya menolak tanda tangan karena tuduhan itu tidak benar,” katanya.
Dipasang Alat Pelacak
Sebagai tersangka, Syachyunie diperlakukan layaknya seorang kriminal. Kejaksaan memasang gelang pelacak dengan teknologi GPS di pergelangan kakinya. Ketua PD AMAN Kotawaringin Barat, Mardani merasa tindakan itu berlebihan, menyebut pemasangan gelang pelacak sebagai sesuatu yang tidak manusiawi.
BACA JUGA: Puluhan Masyarakat Adat Merauke Tolak PSN Cetak Sawah
Mardani juga mempertanyakan bagaimana bisa Syachyunie dituduh sebagai dalang pemortalan. Padahal, ia hanya menjalankan tugasnya sebagai kepala desa untuk mengakomodasi kehendak masyarakat Tempayung dan memperjuangkan hak mereka terhadap PT. Sungai Rangit Sampoerna Agro.
Ia merasa tindakan tersebut berlebihan. Apalagi, banyak tersangka korupsi atau pidana lainnya, bahkan yang KPK tangani, tidak pernah memakai gelang pelacak GPS di pergelangan kaki mereka.
Menurut Mardani, Syachyunie sebenarnya hanya menjalankan peran sebagai seorang pemimpinβmengakomodasi dan memperjuangkan kepentingan warganya. Sebagai kepala desa dan bagian dari komunitas masyarakat adat, ia berperan dalam memperjuangkan tuntutan warga Tempayung, yang merupakan tanggung jawabnya untuk kesejahteraan mereka.
Dukungan Masyarakat Tidak Surut
Meski menjadi korban kriminalisasi, dukungan dari masyarakat Tempayung tidak surut. Bahkan, saat sidang perdana, ratusan warga Tempayung menggeruduk Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun. Kehadiran massa tersebut menjadi simbol solidaritas dan bukti bahwa perjuangan kepala desa mereka bukan sekadar tuntutan pribadi, melainkan perjuangan kolektif.
Syachyunie bukanlah satu-satunya korban kriminalisasi akibat konflik dengan korporasi perusahaan sawit di Kalimantan Tengah. Dalam lima tahun terakhir, sejumlah konflik masyarakat adat di wilayah ini terjadi, seperti perampasan wilayah adat dan hutan adat. Bahkan, salah satu anggota masyarakat adat dari komunitas adat Bangkal di Seruyan, Kalimantan Tengah, ditembak.
Selain itu, dua petani dari Desa Kinjil, Kotawaringin Lama, yakni Aleng dan Kitab, juga menjadi korban. PT Bumitama Gunajaya Abadi (PT BGB) menggugat keduanya sebesar Rp4,6 miliar karena dugaan mencuri buah sawit. Padahal, kedua petani tersebut bersikeras bahwa buah sawit yang mereka ambil berasal dari lahan milik mereka sendiri.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia