Pelaku Penyelundupan Bayi Komodo Berhasil Ditangkap

Reading time: 3 menit
bayi komodo
Komodo (Varanus komodoensis). Foto: wikimedia commons

Jakarta (Greeners) – Polisi Daerah Jawa Timur dan Bareskrim Mabes Polri berhasil menangkap tujuh orang tersangka atas penyelundupan enam ekor bayi komodo yang diidentifikasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berasal dari daratan Flores, Nusa Tenggara Timur. Atas peristiwa penyelundupan tersebut tersangka terjerat hukum pidana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno mengatakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerjasama dengan Mabes Polri dan seluruh Polda, Polres, dan Polsek di Indonesia menyatakan “perang” terhadap perburuan satwa liar yang diperdagangkan di dalam maupun luar negeri. Wiratno menegaskan bahwa satu ekor burung pun akan diperjuangkan dan dikembalikan ke alam karena satwa liar mempunyai hak untuk hidup.

Berdasarkan hasil pemantauan tahun 2018, diperkirakan terdapat 2.897 individu komodo (Varanus komodoensis) yang tersebar di Taman Nasional Komodo. Di luar TN Komodo, ditemukan satwa komodo di daratan pulau Flores. Berdasarkan pengamatan dengan metode site occupancy dan kamera jebak komodo yang berada di Cagar Alam Wae Wuul sebanyak 4-14 individu (2013 s/d 2018); Pulau Ontoloe 2-6 individu (2016 s/d 2018); Kawasan Ekosistem Esensial di Hutan Lindung Pota 6 individu (2016 s/d 2018); dan Pulau Longos 11 individu (2016).

“Telah diamankan barang bukti satwa komodo sebanyak 6 (enam) ekor dalam 3 (tiga) kasus. Berdasarkan keterangan tersangka diperoleh informasi pernah melakukan transaksi sejumlah 41 ekor komodo sejak 3 (tiga) tahun terakhir. Dalam proses penyidikan ini akan dilakukan pengembangan sampai dengan pengungkapan jaringan perdagangan ilegal satwa liar,” kata Wiratno pada konferensi pers di Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta, Selasa (02/04/2019).

BACA JUGA: Analisis DNA Jadi Upaya Baru Penegakan Hukum dan Perlindungan Satwa Liar 

Ahli dari Laboratorium Genetika Bidang Zoologi LIPI yang melakukan pemeriksaan barang bukti menyatakan bahwa berdasarkan morfologi dari bentuk moncong, pola wama tubuh dan warna lidah, barang bukti tersebut adalah Varanus komodoensis yang teridentifikasi berasal dari daratan Flores, bukan berasal dari wilayah TN Komodo.

Pemeriksaan lebih lanjut terhadap barang bukti adalah melalui tes DNA untuk mengetahui kesesuaian keanekaragaman genetika yang dapat mengindikasikan asal-usul satwa komodo. Pemerilsaan DNA saat ini dilakukan oleh Laboratorium Genetik Bidang Zoologi LIPI dan akan diketahui dalam waktu 14 hari kerja.

Proses terjadinya penangkapan kasus perdagangan satwa ilegal ini bermula dari patroli siber yang menemukan akun Facebook penyedia satwa. Pendalaman kasus ini dilakukan oleh Bareskrim Mabes Polri dan Polda Jawa Timur sejak 22 Februari 2019 hingga 8 Maret 2019 dengan total penemuan 6 ekor bayi komodo dengan berat di antara 0.4-1.6 kilogram dan ukuran tubuh antara 75-125 sentimeter yang akan dijual ke luar negeri.

“Jaringan ini juga ternyata tidak menjual komodo saja tapi juga menjual satwa burung, berang-berang dan satwa lainnya. Untuk komodo diidentifikasi bahwa jaringan ini memiliki pemburu di Flores dan NTT kemudian ada penampung yang saat ini masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Mereka sudah pengalaman, tidak lagi menggunakan jalur udara namun jalur darat untuk mengelabui petugas. Komodo ini di masukkan ke dalam tabung yang dibawa oleh supir dan kurir ke Surabaya dan dari kurir ini menyebar lagi,” Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabespolri, Kombes Adi Karya Tobing.

BACA JUGA: Pengesahan RUU Konservasi Terus Tertunda, UU No. 5/1990 Dianggap Masih Relevan

Menurut Kombes Adi, ada 5 orang yang sudah dilakukan penyelidikan. Tersangka tersebut ialah FS, AN, NZ, AB, AW yang ditangkap oleh Polda Jatim, serta FW dan RB yang ditangkap oleh Bareskrim Mabespolri. Dari keterangan tersangka sebanyak 41 komodo telah dijual di bawah jaringannya.

“Namun pihak kami menemukan ada 56 satwa hidup yang dijadikan barang bukti dalam kasus ini. Kami juga akan bekerjasama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk melacak transaksi uang yang digunakan oleh tersangka karena ada dugaan komodo di jual ke luar negeri,” kata Adi.

Revisi UU 5/1990 Masih Diperlukan

Makin maraknya penjualan satwa liar di dunia maya seharusnya dapat mendorong revisi atas UU No. 5/1990. Adi menyatakan bahwa tidak hanya satwa yang perlu dilindungi namun juga petugas penegak hukum karena perdagangan satwa liar saat ini sudah semakin sulit dilakukan di pasar tradisional atau secara konvensional.

“Jika ada kejadian dan kasus seperti ini, misalnya bukti transaksi kalau bisa dikenakan juga seperti UU Narkotika, ada delivery order dan under cover buy. Kalau untuk satwa modusnya 98 persen sudah menggunakan media sosial. Jadi kalau bisa ancamannya diperberat sehingga ada efek jeranya,” ujar Adi.

Diketahui bahwa saat ini pemerintah telah menyatakan tidak melanjutkan Revisi UU No. 5/1990 karena dirasa masih relevan dan belum perlu dilakukan pembaruan.

Mengenai hal ini, Wiratno mengatakan ada kemungkinan Revisi UU No. 5/1990 dibuka kembali karena hukumannya terlalu ringan untuk satwa kebanggaan Indonesia.

“Mungkin pasal-pasal yang memberatkan ini yang perlu direvisi secara parsial, dan itu perlu dipertimbangkan lagi,” ujar Wiratno.

Penulis: Dewi Purningsih

Top