Walhi Anggap Restorasi Gambut Lamban, KLHK Terus Maksimalkan Pemulihan

Reading time: 3 menit
restorasi gambut
Ilustrasi. Foto: wikimedia commons

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengkritik komitmen pemerintah dalam upaya restorasi gambut. Menurut WALHI, peristiwa kebakaran hebat hutan dan gambut yang terjadi di tahun 2015 seharusnya dapat menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk mengakhiri krisis karhutla dan gambut. Menanggapi hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut (BRG) mengatakan akan terus melakukan upaya-upaya untuk restorasi gambut.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati mengatakan bahwa tidak ada kebijakan korektif yang mampu menjawab akar masalah dari kebakaran hutan dan lahan. Pasalnya, penguasaan korporasi atas hutan dan ekosistem rawa gambut dikelola dengan cara monokultur dan merusak lingkungan hidup.

“Ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah tapi memang tidak ada perubahan yang signifikan terhadap luasan konsesi perusahaan dan kemudian tidak terjadi pula upaya-upaya yang dilakukan perusahaan dan pemerintah untuk memastikan kebakaran di masa depan tidak terjadi lagi,” ujar perempuan yang akrab disapa Yaya ini di Jakarta pada Kamis (15/08/2018) lalu.

Hasil investigasi WALHI menunjukkan ekspansi perkebunan monokultur seperti perkebunan sawit dan hutan tanaman industri menjadi penyebab utama penggundulan hutan dan pembukaan lahan gambut di Indonesia. Hingga pada akhirnya kebakaran pada lahan gambut selalu berulang setiap tahun pada lokasi yang sama. Hal ini menunjukkan adanya tata kelola lahan gambut yang salah oleh perusahaan.

“Penting melakukan proses-proses penegakan hukum ataupun penanganan kasus pembakaran hutan. Review terhadap perizinan perusahaan merupakan suatu hal yang krusial dan keharusan supaya tidak lagi terjadi kenakalan-kenakalan perusahaan untuk melakukan pembakaran yang bisa menimbulkan kejadian di tahun 2015,” kata Yaya.

BACA JUGA: Komitmen Kesepakatan Paris, Tata Kelola Gambut Perlu Dibenahi 

Sebagai informasi, pada tahun 2015 lalu kebakaran hutan terbesar terjadi di Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun Greeners dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), data satelit Modis mendeteksi jumlah titik api selama tahun 2015 tercatat 129.813 titik api. Jarak pandang saat itu hanya 100 meter. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) mencapai lebih dari 2.000 psi atau sudah sangat berbahaya. Hutan dan lahan seluas 2,61 juta hektare terbakar dan kerugian ekonomi ditaksir mencapai Rp 221 trilyun. Peristiwa ini menyebabkan aktivitas pendidikan dan penerbangan lumpuh selama 2-3 bulan.

Menjawab pernyataan tersebut, Deputi III Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Myrna Asnawati Safitri mengatakan bahwa BRG sudah melakukan upaya-upaya untuk merestorasi gambut. Salah satu contohnya seperti strategi respon cepat untuk pembasahan gambut.

“Jadi di beberapa lokasi yang sudah rawan, kita alokasikan dana tugas pembantuan dari Pemerintah Daerah sebesar 20% untuk upaya-upaya membasahi lahan secara cepat. Di Kalteng saja untuk strategi tersebut menelan biaya Rp28 miliar yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup atau Dinas Kehutanan yang menjadi pelaksana tugas pembantuan,” jelas Myrna.

Lebih lanjut Myrna menjelaskan, tugas BRG ialah melakukan pencegahan dan membangun infrastruktur pembasahan lahan gambut, seperti pembangunan sekat kanal dan sumur bor. BRG bekerja untuk merestorasi di tujuh provinsi, yakni Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Papua.

“Pemulihan gambut itu tidak cepat karena pembasahannya puluhan tahun dan naiknya hanya senti demi senti. Kami hanya melakukan restorasi di luar konsesi. Kalau di dalam konsesi itu bukan tanggung jawab kami tapi tanggung jawab pemilik konsesi atau perusahaan,” tegas Myrna.

BACA JUGA: KLHK Dorong Perusahaan Perkebunan di Lahan Gambut Menata Pengelolaan Air 

Sementara itu, KLHK melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan menegaskan akan terus melakukan penekanan dan pengendalian kebakaran di lahan gambut dengan semua upaya yang memungkinkan untuk dilakukan.

“Dari hasil pengendalian tersebut, kami berhasil menurunkan jumlah titik api sebesar 93,6% (periode 2016-2017), menurunkan luasan area yang terbakar dari 2,6 juta hektar pada tahun 2015 menjadi 438 ribu hektar pada tahun 2016, dan 165 ribu hektar pada tahun 2017. Penurunan emisi karbon dari kebakaran gambut juga terjadi pada tahun 2017 sebesar 12,5 juta ton CO2 equivalent atau setara dengan 1,56% emisi karbon tahun 2015 dari kebakaran gambut,” ujar Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Karliansyah.

Karliansyah mewakili Gakkum KLHK mengatakan bahwa capaian penegakan hukum karhutla dari tahun 2015 hingga 2018, yaitu penegakan hukum perdata sebanyak 12 perusahaan, penegakan hukum pidana 35 kasus, pencabutan izin 3 perusahaan, pembekuan izin 16 perusahaan, dan 115 surat peringatan kepada perusahaan.

“Kami KLHK sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasi masalah karhutla ini. Dari pencegahan, penanggulangan, hingga pemulihan,” kata Karliansyah.

Penulis: Dewi Purningsih

Top