Solusi Atasi Sampah Plastik Global Jangan Palsu

Reading time: 2 menit
Gunungan sampah plastik jadi permasalahan global. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Dunia mencoba memerangi sampah plastik dengan mengurangi bahkan mencegah penggunaan plastik. Perjanjian plastik global pun digagas awal tahun 2022. Sejumlah organisasi penggiat lingkungan mengingatkan perjanjian plastik global jangan sekadar menjadi solusi palsu.

Alasannya, setiap negara memiliki kepentingan berbeda dalam mendukung kesepakatan ambisius untuk mengurangi produksi plastik. Saat ini, negara-negara sedang mendiskusikan Global Plastic Treaty sebagai tindak lanjut resolusi “Plastic Pollution” UNEA 5.2 pada awal tahun 2022. Proses negosiasi kesepakatan masih berlangsung hingga akhir tahun 2024 atau awal tahun 2025.

Sementara itu, negara-negara kaya minyak bumi berupaya mencari solusi lain seperti kredit plastik, pembakaran sampah, dan daur ulang kimia. Langkah itu justru mendukung produktivitas industri plastik. Kemudian penanganan sampah plastik di akhir siklus hidupnya hanya akan menimbulkan masalah baru.

Climate and Clean Energy Campaign, Global Alliance Iniceator Alternative (GAIA) Asia Pasific, Yobel Novian Putra mengatakan, pembakaran plastik bukan solusi utama yang tepat sasaran karena produknya terlalu banyak. Kecepatan produksi dan kecepatan mengelolanya tidak seimbang.

“Perusahaan plastik masih mengincar produksi lebih tinggi sampai tahun 2040. Kalau insinerator atau pembakaran sampah misal refuse derived fuel (RDF) ujung-ujungnya ada kebutuhan lagi untuk mengekstraksi minyak bumi,” kata Yobel dalam sebuah diskusi virtual baru-baru ini.

Yobel menambahkan, dengan adanya teknologi itu dapat menjustifikasi pelepasan gas efek rumah kaca yang tinggi. Namun lanjutnya negara kaya minyak bumi belum menginginkan pembatasan produksi plastik. Mereka lebih menginginkan waste management atau pengelolaan sampah.

Selain RDF, beberapa proyek teknologi yang organisasi penggiat lingkungan anggap menjadi solusi palsu antara lain pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), RDF, dan co-firing. Sejumlah teknologi ini dinilai hanya akan menimbulkan masalah baru.

Produksi Plastik Berpotensi Berlanjut

Yobel menambahkan, jika kepentingan pencemar dan pengemisi terus terakomodir akan berimplikasi serius pada memburuknya krisis iklim.

Gagasan perjanjian plastik global pun tidak memberikan solusi pada masalah produksi plastik yang semakin banyak. Padahal produksi ini terus menggunakan minyak bumi ditambah bahan beracun yang menimbulkan banyak dampak negatif bagi manusia dan lingkungan.

Aktivis NTB suarakan bebas sampah plastik. Foto: Gema Alam NTB

RDF dan PLTSa Belum Efektif

Sementara itu, RDF dan PLTSa dianggap belum menjadi sebuah jalan keluar dalam mengatasi permasalahan sampah.

Berdasarkan studi oleh GAIA, emisi pembakaran sampah dari plastik sebanding dengan PLTU batubara dan harus dihentikan. Sebab, ada banyak dampak buruk bagi iklim, kesehatan, bahkan keuangan akibat teknologi yang sangat mahal.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Tengah, Fahmi Bastian mengungkapkan soal PLTSa di Surakarta. Ada berapa perencanaan yang berubah di PLTSa tersebut. Menurutnya, energi terbarukan ini memicu dampak yang serius kepada masyarakat.

“Ada beberapa hal yang terjadi di lapangan yaitu walaupun klasifikasi perencanan pembakaran awal pakai gas, tapi ternyata yang ditemukan ada beberapa karung batu bara untuk pembakaran utama,” tegas Fahmi.

Penulis : Dini Jembar Wardani

Editor : Ari Rikin

Top