Walhi: Insinerator PLTSa Legok Nangka Bebani Keuangan Negara

Reading time: 3 menit
ilustrasi PLTSa. Foto: Greeneration Foundation
ilustrasi PLTSa. Foto: Greeneration Foundation

Jakarta (Greeners) – Pembangunan insinerator Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Legok Nangka, Desa Citaman menuai kritikan dari sejumlah organisasi. Mereka menilai proyek PLTSa ini dapat menimbulkan permasalahan baru, baik sosial maupun lingkungan.

Pada Agustus lalu, Ridwan Kamil telah mengumumkan nama pemenang tender yang akan membangun dan mengelola Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka di Kabupaten Bandung.

Dengan demikian, dari keputusan tersebut akan ada fasilitas pemrosesan sampah menjadi energi (Waste-to-Energy) atau insinerator PLTSa. TPPAS Legok Nangka nantinya akan membakar kiriman sampah dari enam wilayah, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Sumedang.

Merespons hal ini, sejumlah organisasi lingkungan menyerukan penghentian teknologi termal seperti insinerator. Organisasi tersebut meliputi Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Walhi Jawa Barat, dan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA).

BACA JUGA: Sembarangan Kelola, Limbah Medis Bisa Jadi Sumber Penyakit

Menurut mereka, pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat perlu meninjau ulang keputusan pemilihan teknologi pembakar sampah tersebut di tengah kondisi darurat sampah.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki Paendong menyatakan besarnya biaya tipping fee insinerator dan mekanisme put-or-pay dalam kontrak kerja sama merupakan sebuah pemaksaan yang sangat berisiko. Hal itu juga akan membebani dana publik pemerintah daerah kabupaten atau kota.

“Terbakarnya TPA Sarimukti merupakan salah satu indikasi bahwa anggaran saat ini masih jauh dari cukup untuk mengoperasikan TPA yang aman,” ungkap Meiki melalui keterangan tertulis.

ilustrasi gunungan sampah. Foto: Pemkot Bandung

ilustrasi gunungan sampah. Foto: Pemkot Bandung

Insinerator Cukup Mahal dalam Menangani Sampah

Meiki mengatakan, insinerator merupakan cara paling mahal untuk menangani sampah dan menghasilkan listrik. Menurutnya, kota dan kabupaten masih memerlukan tambahan anggaran yang sangat besar.

Anggaran tersebut untuk mengelola sampah secara terpilah dan mengurangi sampah dari sumber. Terutama sampah organik yang mendominasi timbulan sampah Metro Bandung.

Dia juga menambahkan, pendanaan untuk insinerator seharusnya dialihkan untuk mengelola sampah organik. Ssebab, hal itu yang menyebabkan terjadinya insiden kebakaran TPA Sarimukti dan meledaknya TPA Leuwigajah.

“Investasi pada pengomposan berpotensi menghasilkan pekerjaan baru, setidaknya enam kali lipat daripada insinerator,” tambah Meiki.

PLTSa Legok Nangka Merugikan Keuangan Negara

Pengkampanye Polusi dan Urban Walhi, Abdul Ghofar mengatakan proyek PLTSa Legok Nangka membebani dan merugikan keuangan negara. Hal tersebut dengan pinjaman hutang 100 juta dolar dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), bagian dari Bank Dunia. Ghofar juga mengkritisi pemenangan tender PLTSa Legok Nangka kepada perusahan konsorsium Jepang.

“Penentuan teknologi insinerator diduga dipengaruhi oleh hasil asistensi teknis oleh Japan International Cooperation Agency (JICA)6 yang berujung pada pemenangan konsorsium Sumitomo-Hitachi Zosen, perusahaan Jepang penjual insinerator di berbagai negara. Adapun tipping fee yang sangat besar itu akan menguntungkan pihak Jepang, namun merugikan masyarakat yang membayar melalui pajak,” lanjut Ghofar.

BACA JUGA: Walhi Desak Setop Insinerator, Polusi dan Bisa Keluarkan Racun

Selain itu, Aliansi Pemulung Internasional juga melaporkan bahwa insinerator dan privatisasi sektor sampah sangat merugikan para pemulung dan pekerja informal di sektor sampah.

Kesepakatan lain yang merugikan pemerintah daerah adalah terkait subsidi. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya anggaran yang tersedia untuk upaya pemilahan, daur ulang, dan pembatasan timbulan yang merupakan target JAKSTRADA.

Insinerator Replikasi Terbakarnya TPA Sarimukti

Staf Kebijakan Iklim GAIA, Yobel Novian Putra menekankan konsekuensi negatif insinerator pada krisis iklim. Menurutnya, insinerator hanya akan mereplikasi terbakarnya TPA Sarimukti yang melepas gas rumah kaca dalam skala besar.

“Seperti terbakarnya sampah di TPA, insinerator membakar campuran berbagai jenis sampah. Baik sampah organik maupun plastik yang terbuat dari bahan bakar fosil,” ungkap Yobel.

Berbagai studi terbaru juga menunjukkan bahwa insinerator di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa melepaskan emisi gas rumah kaca lebih besar daripada pembangkit listrik berbahan bakar batubara.

“Pembakaran sampah organik hanya mengkonversi emisi gas metan dari sampah organik menjadi CO2 secara masif. Ini hanya akan menjauhkan Indonesia dari target Perjanjian Paris dan perjanjian Global Methane Pledge10 yang ditandatangani Indonesia belum lama ini,” ujar Yobel.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top