Tidak Lagi Masuk Kategori Pertambangan, Teknik Pengolahan Panas Bumi Dipertanyakan

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Rancangan Undang-undang Panas Bumi (RUU Geothermal) telah disahkan menjadi Undang-Undang Panas Bumi (UU) pada Selasa (26/8/2014) lalu. Pengesahan RUU ini merupakan revisi dari UU nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi.

Dalam Revisi UU ini, panas bumi tidak lagi dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan, sehingga eksplorasi dan eksploitasi panas bumi, yang dalam undang-undang nomor 27 tahun 2003 dilarang dilakukan di kawasan lindung dan konservasi, bisa dilakukan.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, bahwa agak membingungkan jika panas bumi dihilangkan dari kategori pertambangan karena proses pengerjaan panas bumi melewati beberapa tahap yang sama dengan pertambangan.

Koordinator Jatam, Hendrik Siregar mengungkapkan, proses yang dilalui untuk melakukan pertambangan mencakup observasi (penyidikan), eksplorasi, dan kemudian eksploitasi. Begitu juga dengan panas bumi. Maka, Hendrik mengaku agak kebingungan jika Panas Bumi dihilangkan dari kategori pertambangan.

“Kalau dihilangkan dari pertambangan, lantas panas bumi masuk dalam kategori apa?” kata Hendrik kepada Greeners, Jakarta, Jumat (05/09).

Selain itu, Hendrik tidak membantah jika memang sebenarnya panas bumi memang dibutuhkan oleh Indonesia sebagai energi yang terbarukan. Namun, sebenarnya yang menjadi permasalahan, lanjut Hendrik, bukan terletak pada seberapa besar wilayah hutan lindung dan konservasi yang akan rusak karena memang jangkauan pengerjaan panas bumi jauh lebih kecil dari pertambangan.

Hendrik menjelaskan, yang menjadi masalah adalah bagaimana teknologi yang digunakan oleh perusahaan dalam mengelola Panas Bumi tersebut. Menurut Hendrik, kerusakan yang paling dikhawatirkan terletak pada matinya sumber air di wilayah ekplorasi panas bumi.

“Panas bumi kan menggunakan injeksi air, lalu meresap ke sela-sela tanah dan uapnya akan merusak sumber air di sana. Kita dari Jatam melihat, perlu adanya teknologi biorecycle untuk mengatasi uap air tersebut agar tidak merusak sumber air yang ada,” katanya.

Sebelumnya, Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan mengatakan, bahwa untuk saat ini penerapan UU Panas Bumi sendiri masih belum berpengaruh terhadap Masyarakat Hukum Adat.

Menurut Abdon, dampak kerusakan lingkungan akibat panas bumi terbilang kecil, hanya pipa panasnya itu saja yang melewati pemukiman warga yang mengganggu. Itu sebabnya energi panas bumi disebut sebagai energi yang bersih.

(G09)

Top