Walhi: Industri Pariwisata di Gunungkidul Ancam Kawasan Karst

Reading time: 2 menit
Walhi Yogyakarta menilai masuknya investasi pada pariwisata Gunungkudul mengancam kawasan karst. Foto: Freepik
Walhi Yogyakarta menilai masuknya investasi pada pariwisata Gunungkudul mengancam kawasan karst. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul kini sedang menggenjot investasi, khususnya di sektor industri pariwisata. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta menilai masuknya investasi ini belum seimbang dengan kajian lingkungan dan pola ruang sesuai peraturan yang ada. Hal itu bisa mengancam kawasan karst di Gunungkidul.

Peraturan tersebut tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (RTRW) tahun 2023-2043. Salah satunya, Karst Gunungsewu masuk sebagai kawasan lindung geologi sekaligus kawasan strategis kesultanan.

RTRW DIY telah mengatur kawasan-kawasan yang seharusnya menjadi peruntukan pariwisata. Berdasarkan peraturan tersebut, tahun 2023 terdapat arah pengembangan Kawasan Karst Gunungsewu. Tujuan pembangunan pariwisata di kawasan Karst Gunungsewu terdapat pada pasal 54 ayat 1.

BACA JUGA: Akses Air di Gunungkidul Terancam Imbas Marak Pembangunan

Pada pasal tersebut tercatat pembangunan pariwisata harus secara berkelanjutan dan penataan ruangnya berbasis mitigasi bencana. Selain itu, pasal 54 juga menegaskan bahwa pengembangan pariwisata di Gunungkidul harus melibatkan masyarakat secara aktif dan menjaga kelestarian karst.

“Namun, pada praktiknya Pemkab Gunungkidul justru tidak melibatkan warga dalam mengembangkan pariwisata di Gunungkidul. Pemkab juga tidak mengindahkan arah pengembangan pariwisata berkelanjutan dan penataan ruang berbasis mitigasi bencana,” ungkap Kepala Divisi Kampanye dan Data Informasi Walhi Yogyakarta, Elki Setiyo melalui keterangan tertulisnya, Senin (15/1).

Walhi Yogyakarta menilai masuknya masuknya investasi pada pariwisata Gunungkudul mengancam kawasan karst. Foto: Freepik

Walhi Yogyakarta menilai masuknya investasi pada pariwisata Gunungkudul mengancam kawasan karst. Foto: Walhi Yogyakarta

Pola Ruang Pembangunan Tidak Sesuai

Walhi Yogyakarta menemukanpola ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang sebagai fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

“Apabila berdasarkan pola ruang dalam RTRW, pengembangan pariwisata seharusnya masuk dalam peruntukan ruang untuk fungsi budidaya,” ujar Elki.

Pola ruang berdasarkan fungsi budidaya terbagi menjadi beberapa jenis kawasan. Misalnya, kawasan budidaya, kawasan hutan produksi, kawasan perkebunan rakyat, kawasan pertanian, kawasan perikanan, kawasan pariwisata, kawasan pemukiman, dan sebagainya.

Pembangunan Industri Bisa Timbulkan Ancaman

Pembangunan industri pariwisata dengan skala besar jika tidak terkendali dapat mengakibatkan timbulnya berbagai ancaman. Misalnya, resort di kawasan pertanian dapat mengganggu kestabilan pangan warga sekitar.

“Selain itu, wilayah Gunungkidul sebagai Kawasan Karst Gunungsewu menyimpan berbagai fungsi penting, seperti adanya mata air dan sungai bawah tanah. Dipaprasnya karst untuk pembanguan industri pariwisata tentu saja harus mengorbankan fungsi alamiah karst karena harus memapras karst,” ungkap Elki.

BACA JUGA: Kerusakan Kawasan Karst Terbesar Terjadi di Jawa Timur

Berdasarkan hasil temuan tersebut, Walhi Yogyakarta merekomendasikan pemerintah daerah DIY untuk meninjau pembangunan industri pariwisata di Gunungkidul berdasarkan RTRW DIY. Kemudian, pemerintah daerah perlu menindak lanjut stakeholder maupun investor yang membangun industri pariwisata pada kawasan yang bukan peruntukannya.

“Pemerintah Gunungkidul harus membangun pariwisata berbasis partisipasi warga seperti yang telah diamanatkan dalam RTRW Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya, pemerintah harus mengendalikan investasi di bidang pariwisata,” ungkap Elki.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top