Walhi Jakarta: Moratorium Reklamasi Pantura Belum Menjawab Kegelisahan Nelayan

Reading time: 2 menit
Unjuk rasa Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang menolak pengesahan dua Raperda reklamasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta, 25/02/2016 lalu. Foto: dok. Walhi Jakarta

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta menganggap bahwa rekomendasi penghentian reklamasi pantai utara Jakarta oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan serta kesepakatan pertemuan lintas sektoral antara Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diprakarsai oleh Kementrian Koordinator Kemaritiman dan Sumberdaya (Kemenko Maritim) masih belum menjawab tuntutan dan kegelisahan masyarakat dan nelayan akan dampak reklamasi teluk Jakarta.

Puput TD Putra, Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta dalam keterangan resminya mengatakan kalau posisi teluk Jakarta yang merupakan kawasan strategis nasional seperti yang tertuang dalam PP No. 26 tahun 2008 dan Perpres No. 122 tahun 2012 dan turunannya mengatur bahwa kewenangan reklamasi dengan luasan izin lokasi 25 hektare dan pelaksanaan reklamasi dengan luasan lebih dari 500 hektare berada di tangan Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Hal ini dikarenakan status kawasan yang merupakan kawasan strategis nasional mengisyaratkan bahwa seluruh kegiatan yang berada di dalam kawasan tersebut, termasuk reklamasi, memberikan implikasi secara nasional, sehingga perlu kehati-hatian dalam melaksakannya, terutama imbasnya terhadap kehidupan masyarakat lokal dan regional di sekitar Jabotabekpunjur.

“Dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta telah menyalahi aturan dengan menerbitkan izin reklamasi melalui SK Gub.DKI No. 2238 Tahun 2014 tanpa melalui pembuatan dan pengesahan Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Perda Tata Ruang Kawasan Srategis Pantai Utara Jakarta terlebih dahulu,” kata Puput, Jakarta, Kamis (28/04).

Di sisi lain, lanjutnya, jika dilihat dari perspektif lingkungan, proses pembuatan dan pengkajian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang dilakukan secara parsial oleh pengembang yang dibantu oleh konsultan serta direstui oleh Pemprov DKI, menyebabkan dampak penting secara nasional tidak akan terlihat.

Terganggu bahkan hilangnya mata pencaharian nelayan Jakarta dan sekitarnya, kata Puput, merupakan dampak penting yang perlu diperhatikan dan menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan. Menurutnya, apabila reklamasi tetap dilaksanakan, sebanyak 18.947 nelayan di Teluk Jakarta akan kehilangan lahan tangkapan atau terpaksa memutar untuk mencapai lokasi penangkapan ikan. Ini akan mengakibatkan biaya operasional meningkat dan akhirnya mematikan rezeki kaum nelayan dan meningkatkan pengangguran.

“Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada pilihan lain selain menghentikan segala upaya reklamasi teluk Jakarta dan memindahkan pusat pembangunan keluar dari Jakarta yang sudah tidak mampu menampung beban pembangunan baik dari segi fisik seperti penurunan muka tanah, maupun kimia seperti pencemaran air, maupun sosial budaya seperti dampak urbanisasi,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top