Efek Fenomena Suhu Panas, Musim Hujan Alami Kemunduran Hingga November

Reading time: 2 menit
Efek Fenomena Suhu Panas, Musim Hujan Alami Kemunduran Hingga Bulan November
Ilustrasi kondisi cuaca panas. Foto : Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakan bahwa saat ini di berbagai wilayah Indonesia sedang mengalami fenomena suhu panas, di mana hal ini mempengaruhi awal musim hujan yang seharusnya sudah jatuh di bulan Oktober. Namun, akan mengalami kemunduran hingga bulan November bulan depan.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan fenomena yang saat ini sedang terjadi, lanjut Dwikorita, adalah rendahnya suhu permukaan laut daripada suhu normalnya yg berkisar antara 26 – 27 derajat celcius di wilayah perairan Indonesia bagian selatan dan barat, sehingga berimplikasi pada kurangnya pembentukan awan di wilayah Indonesia.

“Dengan adanya fenomena tersebut, mengakibatkan awal musim hujan periode 2019/2020  mengalami kemuduran, dan sebagian besar wilayah Indonesia  akan mulai memasuki musim hujan pada bulan November, kecuali untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan yang dimulai sejak pertengahan Oktober 2019”, paparnya pada siaran pers yang diterima oleh Greeners, Rabu (23/10/2019).

BACA JUGA : Tantangan Membumikan Pangan Laut Indonesia

Dwikorita menambahkan, pada tahun 2019 ini, El – Nino lemah telah berakhir pada bulan Juli lalu, dan kondisi netral ini masih  berlanjut hingga di penghujung tahun 2019. Ia pun mengimbau agar perlu mengoptimalkan usaha “menjaga cadangan air” melalui optimalisasi manajemen operasional air waduk saat musim penghujan dan melalui gerakan memanen air hujan.

“Teknologi Modifikasi Cuaca dapat diterapkan sebagai alternatif pada saat peralihan kedua musim tersebut, terutama bagi wilayah yang rawan kekeringan dan karhutla,” ujarnya.

Sedangkan, Siswanto Peneliti Iklim dan Cuaca BMKG mengatakan kejadian kekeringan parah di Indonesia umumnya dipicu oleh kejadian anomali iklim di Samudera Pasifik berupa El Nino, dan/atau di Samudera Hindia berupa Dipole Mode positif (IOD+).

BACA JUGA : Ancaman Mikroplastik Dari 600 Ribu Ton Sampah Tiap Tahun Ke Laut

“Kedua fenomena itu memengaruhi kondisi suhu muka laut sehingga lebih dingin daripada biasanya di Perairan Indonesia yang berimbas pada sedikitnya suplay masa uap air di udara dan menghambat aktifitas perawanan disebagian besar wilayah Indonesia,” ujarnya kepada Greeners, Rabu pagi.

Siswanto juga mengatakan bahwa panas yang saat ini terjadi belum dinyatakan sebagai gelombang panas namun, fenomena suhu panas. Adanya rekor panas di sejumlah wilayah itu sifatnya hanya harian saja.

“Untuk mengatakan gelombang panas sepertinya terlalu dini. Bila ini tertinggi dalam 37 tahun, berarti rekor baru tertinggi. Kalau dikatakan gelombang panas, perlu ada uji statistik batas atas dari threshold suhu ekstrim di atas 95 persentil (rata2 dari 5% data suhu tertinggi yang pernah terjadi), misal kalau suhu maksimum suatu wilayah dalam range 35 – 40°C selama setahun atau sebulan, berapa rata2nya? Apabila sudah >3 hari melewati rata2 itu, nah baru dikategorikan gelombang panas,” jelas Siswanto.

Penulis : Dewi Purningsih.

Top