Cendana, Kayu Wangi yang Rentan Punah

Reading time: 3 menit
kayu wangi
Cendana (Santalum album L.). Foto: Francisco NuÑez via Youtube

Nama flora yang satu ini sangat familiar bagi banyak orang. Tempat kediaman Presiden RI yang ke dua, Soeharto, pun tinggal di jalan yang dinamai dengan nama flora ini. Ya, tanaman yang dimaksud adalah cendana.

Cendana (Santalum album L.) yang dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama sandalwood, merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang merupakan pohon endemik di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Surata, 2007). Penyebaran cendana di Indonesia saat ini meliputi Bondowoso dan Jember (Jawa Timur), Bali, Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), Sulawesi serta Maluku (Rahayu dkk, 2002). Beberapa daerah yang pernah tercatat sebagai tempat tumbuh cendana adalah Timor, Sumba, Flores, Alor, Solor, Wetar, Lomblen dan Rote.

Pohon cendana dari famili Santalaceae hanya ada 29 spesies di dunia yang tumbuh secara alami dan tersebar di Indonesia, Australia, India dan negara-negara kepulauan Pasifik. Tercatat hanya 8 spesies dieksploitasi karena mempunyai aroma dan kadar minyak, dua spesies lainnya dinyatakan telah punah yaitu Santalum homoi dan Santalum frevenetianum (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1980).

Kandungan senyawa santalol pada batang dan akar cendana membuat batang kayu cendana menjadi harum. Senyawa santalol ini digunakan untuk bahan dasar dalam industri farmasi dan kosmetika. Bagian kayu yang kandungan santalolnya rendah digunakan sebagai bahan ukir-ukiran dan bahan kerajinan lain yang dijual dengan harga mahal. Dalam dunia perdagangan, kayu cendana sangat digemari oleh bangsa-bangsa di dunia karena aroma harum tersebut (Wawo, 2008; Sunanto, 1995).

kayu wangi

Cendana (Santalum album L.). Foto: wikemedia commons

Secara morfologi cendana memiliki ciri-ciri yaitu menggugurkan daun, tinggi bisa mencapai 20 m dan diameter bisa mencapai 40 cm, tajuk ramping atau melebar, batang bulat agak berlekuk-lekuk, akar tidak berbanir (Rudjiman, 1987).

Daun cendana merupakan daun tunggal, berwarna hijau, berukuran kecil-kecil, 4-8 cm × 2-4 cm dan relatif jarang. Bentuk daunnya bulat seperti bentuk pasak, pinggiran daunnya bergelombang, tangkai daun kekuning-kuningan dengan panjang 1-1,5 cm (Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2010).

Bunga cendana berbentuk seperti payung menggarpu atau malai dengan hiasan bunga seperti tabung, berbentuk lonceng, dan panjangnya ±1 mm, awalnya berwarna kuning, kemudian berubah menjadi merah gelap kecoklat-coklatan. Buah cendana memiliki ukuran diameter 1 x 0,75 cm. Buahnya berbentuk batu (drupe), jorong, kecil, berwarna merah kehitam-hitaman, mempunyai lapisan eksokarp, mesokarp berdaging, endokarp keras dengan garis dari ujung ke pangkal. Daging kulit buahnya berwarna hitam saat masak.

Pohon cendana berbunga dan berbuah mulai umur lima tahun, berbuah setiap dua kali setiap tahun. Musim berbunga pertama umumnya Mei – Juni dan buah masak September – Oktober. Musim berbunga kedua Desember – Januari dan buah masak Maret – April (puncak produksi buah).

Kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan cendana adalah berdrainase baik umumnya di lahan kering, bertekstur lempung atau sedang) dari bahan induk batu gamping (topografi karts), batu pasir gampingan, batu lanau maupun vulkanik basa, dan tanahnya dangkal. Pada tanah dangkal, berbatu-batu, kurang subur, pohon cendana masih dapat tumbuh dan menghasilkan kayu dengan kualitas terbaik (Haryjanto, 2009).

Potensi cendana telah dimanfaatkan sejak 400 tahun yang lalu. Bangsa-bangsa seperti Cina, Mesir Kuno serta para pemeluk agama Hindu dan Budha menggunakan serbuk kayu cendana sebagai bahan baku dupa pada upacara-upacara keagamaan misalnya pada acara pemakaman, pemujaan dan untuk pengawetan jenasah (Rahayu, dkk. 2002). Bagi masyarakat Bali, kayu tanaman cendana dijadikan bahan untuk pembuatan bangunan suci, arca dan cinderamata.

Status cendana Santalum album L. di Indonesia menurut International Union for Conservation of Natural Resource (IUCN) (1997) sudah termasuk dalam katagori vulnerable (rentan punah). Hampir punahnya tanaman cendana dikarenakan eksploitasi kayu cendana secara besar-besaran yang terjadi sejak tahun 1980an. Selain itu, disinyalir faktor menurunnya populasi dan produksi cendana juga disebabkan oleh kebakaran dan penggembalaan ternak. Upaya melestarikan cendana masih terus dilestarikan salah satunya dengan melakukan penanaman kembali pohon cendana di beberapa daerah.

kayu wangi

Penulis: Sarah R. Megumi

Top