Pahlawan itu Bernama Cacing Tanah

Reading time: 4 menit

Bagaimana bila anda bertemu dengan seekor cacing tanah yang menggeliat di halaman belakang rumah atau di pot tanaman anda. Mungkin itu hal biasa. Tapi bila cacing itu bisa berbicara dengan bahasa manusia. Ini baru luar biasa, tapi sungguh di luar akal sehat. Namun untuk mengenal lebih jauh cacing tanah dan mengetahui bagaimana caranya mengolah tanah dan mempertahankan kualitas alaminya serta mengintip khasiatnya yang hebat. Ayolah, saya ajak Anda berbincang dengan sosok ecological engineers yang satu ini.

Artikel ini diterbitkan pada edisi 02 Vol. 3 Tahun 2008

 

Halo, perkenalkan nama ku cacing tanah. Kita pernah bertemu sebelumnya kan? Mungkin anda akan mendelik geli, atau bahkan merasa jijik membayangkan bentukku yang  memanjang dan berlendir. Bentukku memang kurang menyenangkan, dan hidup di tanah memang membuatku terkesan jorok. Tapi, mari kita berkenalan lebih jauh mungkin anda akan berubah pendapat setelah itu.

Bentuk tubuhku memang terlihat sederhana, layaknya spesies lain dari kelas Annelida ( Binatang bergelang), gelang atau segmen ditubuhku bisa jadi petunjuk dimana kelaminku berada, dan menjadi pembeda antar spesies. Secara kelas Annelida terbagi menjadi dua, cacing tanah yang miskin bulu termasuk ke dalam kelas Oligochaeta sedang cacing laut yang biasanya memiliki banyak bulu termasuk ke dalam kelas Polychaeta.

Ditubuhku biasanya ada penebalan (citellum), yang menjadi pembeda antar spesies. Cacing tanah memang terdiri dari banyak spesies, ada sekitar 7000 spesies, tapi yang lazim anda temui adalah jenis Helodrilus caliginosus (cacing kebun), Helodrilus foetidus (cacing merah), Lumbricus terrestris (cacing malam) dan Lumbricus rubellus.

Aku tinggal di tanah, makan dan berbiak tergantung tanah. Jika membicarakan masalah kelamin, aku adalah binatang hermaprodit atau berkelamin dua. Tapi, bukan berarti aku bisa kawin dengan diri sendiri. Itu mustahil. Kalau pun bisa, anda pasti setuju itu sungguh tak menyenangkan. Makanya aku tetap butuh pasangan. Salah satu dari kami akan mengeluarkan kokon berisi telur-telur yang kemudian menjadi cacing tanah baru.

Sekarang aku akan bercerita tentang tanah sebagai tempat tinggalku. Perkembangan tekhnologi membawa manusia terlena dengan penggunaan bahan sintetis untuk menyuburkan tanah secara cepat, namun, tanpa disadari kualitas tanah lama kelamaan akan menurun dan jauh dari sifat aslinya. Kalian seharusnya memperlakukan tanah seperti aku, menjaga kondisi aslinya dan mempertahankannya dengan cara alami, bukan memaksa tanah dengan menambahkan unsur-unsur kimia sintetis dengan harapan bisa membuat tanaman lebih subur. Tapi, akhirnya malah merusak kandungan alami tanah. Pupuk sintetis memang memberikan unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan, bahkan bisa sangat spesifik. Namun tidak baik untuk kondisi tanah dan organisme di dalamnya.

Padahal tanah adalah salah satu unsur kehidupan penting, karena mengandung banyak unsur yang diperlukan untuk hidup oleh banyak makhluk. Bahkan menurut ahli mikrobiologi dalam secangkir massa tanah akan ditemukan organisme yang jumlahnya bisa melebihi jumlah manusia di planet bumi.

Tapi, tak semua jenis tanah aku suka. Banyaknya  bahan organik akan menjadi pertimbanganku untuk memilih tempat tinggal, karena ini berhubungan dengan ketersediaan makananku. Selain itu aku lebih senang tanah yang memiliki derajat keasaman netral, kandungan garam rendah, lembab, hangat (sekitar 21ºC) serta tata udaranya baik.

Kadang kamu bisa menemukan aku di lapisan atas tanah, tapi terkadang pada lapisan yang dalam. Sesama cacing tanah juga punya kebiasaan hidup ada yang hidup di permukaan tanah pada serasah dedaunan (epigeic), ada pula yang hidup di kedalaman 10-30 cm tanah (endogeic) serta yang hidup vertikal samapi kedalaman satu meter (aneceic).

Top