Pahlawan itu Bernama Cacing Tanah

Reading time: 4 menit

Ketika hidup, aku adalah ahli lingkungan, sedangkan ketika dalam kondisi tak bernyawa aku adalah ahli kesehatan. Tubuhku sudah lama dikenali sebagai penyembuh untuk beragam penyakit. Di negeri Panda, aku digelari sebagai naga tanah, mungkin karena orang Cina sejak dulu telah memahami fungsi obat dariku. Mereka mencantumkanku dalam Ben Cao Gang Mu, buku bahan obat (farmakope) pengobatan tradisional Cina. Sedangkan nama pasaran di kalangan pedagang obat-obatan tradisional Cina adalah ti lung kam.

Beberapa yang pernah menelitiku menyebutkan bahwa ada senyawa aktif padaku yang mampu melumpuhkan bakteri patogen, khususnya Eschericia coli penyebab diare. Beberapa pengalaman orang lain menyebutkan bahwa ada khasiat lain dariku seperti untuk menyembuhkan rematik, batu ginjal, dan cacar air.

Kegunaan yang lain adalah menjadi obat yang berkaitan dengan pengumpalan darah seperti stroke, arteriosklerosis, dan sebagainya. Khasiat penghancur gumpalan darah (fibrimolysis) ini telah dilaporkan oleh Fredericq dan Krunkenberg pada tahun 1920-an. Sayangnya, laporan tersebut tidak mendapat tanggapan memadai dari para ahli saat itu. Sesudah masa tersebut, Mihara Hisahi, peneliti dari Jepang, berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari Lumbricus (cacing tanah), maka enzim tersebut kemudian dinamakan lumbrokinase.

Selain itu aku juga dipercaya bisa menyembuhkan demam, tifus, hipertensi, kejang ayan (epilepsi), radang usus dan pengobatan alergi serta berbagai penyakit infeksi. Bahkan banyak yang telah memanfaatkanku sebagai bahan kosmetik dan tonik karena kandungan proteinku yang tinggi. Ada juga yang menggunakanku sebagai pakan ternak, dari mulai ayam hingga ikan.

Mungkin baru ini yang bisa kuceritakan, seperti yang telah kalian kuak sendiri. Yang ku harapkan kalian lebih bijak memperlakukan lingkungan tempat kalian hidup. Dan jangan serakah serta cobalah bersabar.

Perbincangan dengan sang cacing berakhir. Dan akhirnya membawa pada kesadaran, bahwa alam telah menyediakan perangkat yang sempurna dan saling melengkapi. Namun, manusia kadang tidak cukup sabar, dan tidak mau belajar untuk menunggu.

(tulisan ini dirangkum dari hasil wawancara dengan Diyan Herdiyantoro, SP,.Msi., Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unpad,  terussehat.com dan beberapa sumber lain).

Top