Rice, Our Primary Food; Past, Present, and Future

Reading time: 6 menit

Pada tahun 2005 varietas baru yang disebut Golden Rice 2 diluncurkan dengan kandungan beta- karoten yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas sebelumnya. Golden Rice 2 tidak mengambil gen yang berasal dari daffodil tetapi dari jagung.

Perkembangan bioteknologi semakin pesat belakangan ini. Bukan hanya efek samping terhadap kesehatan yang harus diperhitungkan dalam menciptakan dan mengembangkan suatu produk GMO, tetapi juga efek sampingnya terhadap lingkungan.
Perkembangan GMO yang kian hari kian pesat dan meluas dapat menjadi suatu bentuk eksploitasi organisme, yang selanjutnya dikhawatirkan mengganggu, menggeser, bahkan menghilangkan kekayaan plasmanutfah (varietas-varietas alami) organisme-organisme, khususnya tumbuh-tumbuhan di alam.

Pada akhirnya, hal ini tentu saja akan merusak keseimbangan lingkungan. Oleh karena itu, negara-negara di dunia membuat suatu kesepakatan mengenai pembatasan gerak organisme yang dimodifikasi melalui bioteknologi, yang dapat menimbulkan dampak negatif pada konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati.

Kesepakatan yang dirangkum dalam Protokol Cartagena tersebut ditandatangani pada tanggal 29 Januari 2000, di Cartagena, Kolombia. Indonesia juga turut menandatangi Protokol Cartagena pada bulan Mei tahun 2000. Protokol ini memuat 40 pasal dan 3 aturan tambahan tentang biosafety, yang dituangkan dalam aturan dan prosedur transfer, penanganan, dan penggunaan LMO’s (Living Modified Organisms), terutama pada pengiriman antar-negara. Protokol Cartagena juga mencakup penyederhanaan sistem komoditas pertanian, analisis risiko, prosedur manajemen resiko, dan the Biosafety clearing-house (BCH) yang memuat semua informasi tentang hukum nasional, kebijakan, petunjuk pelaksanaan protokol, serta informasi-informasi lain yang dibutuhkan.

Berkaitan dengan hal di atas, Menteri Pertanian Indonesia, Anton Apriyantono, merasa yakin bahwa Indonesia pada tahun 2008 akan menjadi negara pengekspor beras setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi secara menyeluruh mulai tahun 2007, dengan digunakannya varietas padi hibrida. Keyakinan Mentan ini berdasarkan atas peran swasta yang mulai berinvestasi di sektor pertanian, seperti PT Penta Prima yang bekerja sama dengan Sichuan Guohao Seed Industri Co Ltd, yang akan membangun Hybrid Rice Research Center (Pusat Penelitian Padi Hibrida) di Lampung.

Melalui pusat riset beras ini diharapkan pada tahun 2009 Indonesia dapat menjadi negara pengekspor benih hibrida seperti Cina, setelah berhasil memenuhi kebutuhan benih nasional.

Padi hibrida diketahui mampu menghasilkan gabah 10-20% lebih tinggi daripada varietas padi inbrida, seperti IR 64, Ciherang, dan Way Apoburu. Varietas padi inbrida umumnya hanya menghasilkan 3-5 ton gabah kering giling per hektare, sedangkan varietas padi hibrida umumnya bisa mencapai 8 ton gabah kering giling per hektare.

Dinamika teknologi pangan memang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia di bumi, termasuk Indonesia pada khususnya. Beras yang merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia ikut mengalami perubahan dari berbagai segi, ditinjau dari aspek bioteknologi maupun pemenuhan kebutuhan pangan. Berbagai upaya yang telah dilakukan, pada mulanya memang dimaksudkan untuk kebaikan semua umat manusia. Akan tetapi, hasil yang diperoleh berikut efek samping yang muncul, seringkali malah membawa dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk terhadap manusia itu sendiri. Oleh karena itu, banyak orang berpendapat teknik pertanian tradisional yang masih menggunakan cara-cara konvensional jauh lebih baik dan sehat daripada pertanian hibrida. Semua itu kembali kepada diri kita masing-masing, dari sudut pandang mana kita menilai dan antisipasi apa yang telah kita siapkan untuk berbagai kemungkinan yang dapat muncul, baik itu akibat pertanian tradisional, maupun hibrida. (end)

Top