Project B Indonesia, 15 Tahun Buat Produk Bernilai dari Sampah

Reading time: 2 menit
Project B Indonesia membuat banyak produk layak jual dari sampah. Foto: Project B Indonesia
Project B Indonesia membuat banyak produk layak jual dari sampah. Foto: Project B Indonesia

Menjamurnya ecopreneurship atau wirausaha berkelanjutan di Indonesia berdampak baik bagi pengurangan sampah. Salah satunya adalah Project B Indonesia. Sejak tahun 2008, mereka telah mengumpulkan sampah hingga berhasil membuat banyak produk layak jual dari sampah.

Awal mula inisiasi Project B terbentuk berasal dari kekhawatiran sekumpulan mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII). Mereka memulai langkah ini dengan cara mengumpulkan sampah kemasan sachet di warung dan lingkungan sekitar kampus.

“Kemudian, pada tahun 2010 ini karena ingin efeknya lebih jauh, kami mencoba menggandeng masyarakat dengan sosialisasi ke mereka tentang dengan adanya Project B,” ungkap Pengelola dan Trainer Project B Indonesia, Yebi Yuriandala kepada Greeners, Selasa (31/10).

BACA JUGA: Paste Lab Hasilkan Banyak Karya dari Sampah Plastik

Ketika Project B semakin mengembangkan upayanya, masyarakat pun bisa mendonasikan sampah sachet-nya kepada Project B. Kemudian, tim Project B akan membuat sampah tersebut menjadi sebuah produk bernilai seperti goodie bag, beauty kit, wallet, dan sebagainya.

Selama 15 tahun Project B berjalan, kini sebanyak 2.000 donatur sampah terlibat untuk mendonasikan sampah residu, khususnya sachet.

“Tahun 2008 sampai 2010 baru ngumpulin. Cuma, awal tahun 2010 gudangnya penuh. Kemudian, di Yogyakarta banyak hal-hal berbau seni dan ini kami coba buat untuk produk yang kira-kira bisa kami buat dari sampah. Dari 2010 mulai produksi, terus kami pasarkan juga sampai 2023 ini,” tambah Yebi.

Project B Menyediakan Pelatihan Pengelolaan Sampah

Tak sekadar fokus mendaur ulang sampah, Project B juga terus mengembangkan usahanya demi membantu pengurangan sampah yang masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Ecopreneurhsip yang berbasis di Kabupaten Sleman ini menyediakan jasa pelatihan pengelolaan sampah.

“Jasa seperti pelatihan pengelolaan sampah berbasis masyarakat itu dari tahun 2012 kami sudah mulai. Sejak tahun 2008 kami sudah mulai pelatihan ke masyarakat, tapi kalau 2012 kami terjadwal akan memberikannya. Misalnya, saat ada virus Covid, seminggu dua kali kami adakan webinar untuk sosialisasi sampah,” jelas Yebi.

BACA JUGA: Hyatt BeBot, Robot Canggih Pembersih Pantai

Saat ini, Project B mengolah sampah seberat satu truk sampah sebesar enam meter per kubik. Kini, mereka juga banyak bekerja sama dengan produk tertentu dari sejumlah industri.

“Mereka ingin dibuatkan produk yang dibuat dari brand mereka. Ada dari Batam, Jakarta itu mengirimkan sachet milik mereka atau sampahnya untuk kami buatkan produknya sesuai request,” tambah Yebi.

Pemasaran Menjadi Tantangan

Dalam menjalani usaha ramah lingkungan ini, Project B merasakan pemasaran menjadi tantangannya. Terutama, sebagian besar dari tim Project B saat itu belum mengenal media sosial lebih dalam.

“Terutama tantangannya yang membuat produk ada, tapi pemasaran seperti apa? Kami akhirnya mengubah menjadi leader di depan kami bukan orang tekniknya, tetapi orang pemasarannya,” imbuh Yebi.

Sementara itu, Yebi menyatakan omzet yang Project B dapatkan dalam setahun bisa mencapai Rp200 juta hingga Rp300 juta. Namun, Yebi menegaskan dirinya bersama tim Project B tidak melihat keuntungan tersebut. Sebab, tujuan utamanya ingin menyelamatkan lingkungan dari sampah.

Peminat Tersebar di Berbagai Wilayah Indonesia

Peminat produk yang Project B buat juga tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan, saat ini Project B memiliki reseller di Aceh, Pekanbaru, Jakarta, dan Surabaya. Namun, peminat masih didominasi di Pulau jawa.

Harapan Project B ke depannya, mereka ingin ada unit pengolahan sampah khusus residu sachet. Kemudian, pengelolaan sampah ini juga akan terus digaungkan kepada banyak orang supaya mereka bergerak untuk peduli mengelola sampah.

“Sebenarnya, produk kami ini hanya menunda masuk ke TPA. Nah, bagaimana ketika itu tidak digunakan lagi  dengan cara sudah ada alat mengolahnya kembali. Apalagi, di Yogyakarta isunya sudah menyebar soal TPA Piyungan tutup. Lalu, kami juga ingin mengembangkan pemasaran. Kami juga perlu berpikir dampak baik untuk lingkungan harus semakin besar,” ujar Yebi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top